BANJARBARU, Poros Kalimantan – Farida Syarifah dengan semangat mendatangi peserta didiknya yang jauh di luar kota. Sembari berdoa, ia ingin anak didiknya benar-benar mendapatkan dan memahami pelajaran-pelajaran yang memang sudah diporsikan untuknya.
Bahkan tak hanya seorang, tapi terbagi di beberapa titik lintas Kabupaten. Sebagai seorang guru Sekolah Luar Biasa (SLB), ia ingin peserta didiknya tetap mendapatkan hak sebagaimana anak lainnya.
Farida harus menempuh jarak bahkan puluhan kilometer ke tempat muridnya yang tersebar di Kota Banjarbaru, Bati-bati (Tanah Laut), dan Sungai Tabuk (Banjar). Sudah dua kali ia mengunjungi muridnya, satu kali survey tempat, satu kali pendampingan belajar.
Guru SLB-C Negeri Pembina Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan ini tinggal di Sultan Adam, Banjarmasin. Alasannya sederhana, murid Farida adalah penyintas autis yang perlu bimbingan lebih. Komunikasi yang intensif dalam pembelajaran jarak jauh sekalipun ternyata sulit untuk menutupi kekurangan pembelajaran tatap muka.
“Tahun ini saya pegang 4 murid autis dan semuanya perlu dampingan langsung dalam belajar,” katanya.
Walaupun Menteri Pendidikan, Nadiem telah melonggarkan aturan dalam pelaksanaan kegiatan mengajar tatap muka di tengah pandemi, terutama bagi zona hijau dan kuning, namun kekhawatiran juga masih ada bagi para guru. Untuk saat ini, SLB-C Negeri Pembina Tingkat Provinsi Kalsel masih belum berani membuka kegiatan tatap muka.
Pendampingan bagi anak autis dalam belajar tetap harus dilakukan dengan situasi tidak menentu saat ini. Apalagi, latar belakang keluarga murid juga berbeda-beda.
“Dua orang murid cuma memiliki hape jadul. Jadi saya hanya bisa menelpon dan berbalas sms,” ungkap Farida.