Kondisi murid yang ditanganinya adalah autis non-verbal, dimana pembelajarannya yang ideal ialah dapat memancing komunikasi mereka. Dan itu sulit jika tidak dengan cara langsung.
Untuk mengunjungi ke rumah masing-masing murid yang tersebar berpuluh-puluh kilometer dari tempat tinggalnya, Farida mengaku kadang merasa takut juga terpapar ketika diperjalanan.
Namun, hal tersebut sirna ketika ia mendengar ucapan dari para orang tua, bahwa anak mereka sangat sulit dalam memahami pembelajaran yang cuma lewat modul saja.
“Saya rasa berdosa sebagai guru jika tidak bisa melakukan apapun. Dengan bismillah saya beranikan diri mendatangi mereka,” jelasnya.
Jika anak dengan keadaan normal saja kadang perlu pengawasan hingga dampingan pengajar, terlebih juga anak autis. Bahkan, Farida menjelaskan bahwa anak autis memerlukan sosialiasasi. Berkomunikasi antar individu dengan anak autis merupakan hal penting, dan itu semua berbeda rasanya ketika menggunakan cara daring ataupun jarak jauh lainnya.
Usulan modul belajar daring belumlah efektif menjangkau seluruh kondisi sekolah. Karakteristik sekolah dan murid juga merupakan tantangan untuk melaksanakan pembelajaran di kala pandemi. Tentu, tak jarang “new normal” pendidikan ini membuat murid belum terbiasa.
Kepala SLB-C Negeri Pembina Tingkat Provinsi Kalsel Rosita sempat memberikan tayangan proses belajar di sekolahnya bersama murid. Salah seorang anak autis, dalam sebuah video yang ditunjukkan Rosita terlihat kesulitan belajar meski didampingi orang tuanya. Diakhir video rasa rindunya akan sekolah disampaikan, “aku ingin kembali ke sekolah lagi,” ucapnya.(why/and)