“Kita sudah memiliki UU Pers, Dewan Pers dan MoU antara Dewan Pers dengan Polri, seharusnya itu dijadikan acuan dalam penanganan kasus ini. Putusan Diananta adalah salah satu alarm bahaya bagi kebebasan dan kemerdekaan pers. Saya berharap, kasus Diananta ini tidak terulang lagi terhadap insan media lainnya,” tegasnya.
Mantan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada ini menambahkan bahwa kebebasan pers merupakan buah manis dari reformasi tahun 1998 yang diperjuangkan masyarakat. Mencederai kebebasan pers maka sama saja dengan mencederai semangat refomasi yang ada. Negara seharusnya hadir dan menjadi garda terdepan dalam melindungi kebebasan pers dan bukan sebaliknya.
“Kita perlu pahami, contoh buruk kasus Diananta ini pengaruhnya tidak hanya di Kalsel, tetapi juga menjadi penilaian berbagai pihak di tingkat nasional dan internasional. Karena itu, apa yang dialami sahabat kita, Diananta akan menjadi poin negatif bagi rapor kebebasan pers Indonesia setiap tahunnya oleh lembaga internasional,” ucap Denny. (why/and)