JAKARTA, Poros Kalimantan – Gerakan Bersihkan Indonesia kembali mengkritisi pemerintahan atas sikap terhadap lingkungan. Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menghapus limbah batubara hasil pembakaran yaitu Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori Limbah Bahan Berbahaya Beracun (LB3).
Hal ini tertuang dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam rilisnya, Jumat, (12/03/2021), Bersihkan Indonesia menilai keputusan yang berpihak pada industri energi kotor batu bara adalah kabar buruk bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, dan masa depan transisi energi bersih terbarukan nasional.
Penetapan aturan ini tidak terlepas dari desakan simultan sejak pertengahan tahun 2020 oleh Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) termasuk Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA) yang menjadi bagian di dalamnya.
“Penghapusan FABA dari kategori limbah berbahaya ini adalah bagian dari Paket Kebijakan Besar (Grand Policy) yang secara sistematis dirancang untuk memberikan keistimewaan bagi industri energi kotor batubara mulai dari hulu hingga ke hilir,” ucap Peneliti dan Pengkampanye Trend Asia Andri Prasetiyo.
Dijelaskan, upaya masif oligarki batu bara ini dimulai dari revisi UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, proyek hilirisasi batu bara yang berusaha membajak RUU EBT, dan sekarang dengan menghapus limbah FABA dari jenis limbah B3.
Kebijakan demi kebijakan dinilai hanya bertujuan agar industri energi kotor batu bara dapat terus mengeruk untung berkali lipat.
Dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 adalah keputusan bermasalah dan berbahaya. Padahal batu bara mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif.
Ketika batu bara dibakar di pembangkit listrik, maka unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakarannya yakni abu terbang dan abu padat (FABA).
Ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan secara perlahan, termasuk arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thallium ke badan lingkungan.
“Unsur-unsur ini sifatnya karsinogenik, neurotoksik dan beracun bagi manusia, ikan, biota air, dan satwa liar. Alih-alih memperkuat implementasi pengawasan dan penjatuhan sanksi pengelolaan abu batubara dari pembangkit yang akan memperkecil risiko paparan, pemerintah justru melonggarkan aturan pengelolaan abu batu bara dengan mengeluarkannya dari daftar Limbah B3,” ujar staff Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah.
Dipaparkannya pula, tidak sedikit laporan dan fakta atas terjadinya perubahan dan penurunan kondisi lingkungan dan kesehatan warga di sekitar PLTU.
Seperti yang dialami warga dan petani di Mpanau Sulawesi Tengah, Cilacap Jawa Tengah, Indramayu dan Cirebon Jawa Barat, Celukan Bawang Bali, Ombilin Sumatera Barat, Muara Maung dan Muara Enim Sumatera Selatan, dan Suralaya Banten.
Derita serupa juga dialami warga di banyak kampung di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, termasuk di Morowali Sulawesi Tengah, dimana terdapat smelter nikel, PLTU mulut tambang dan kawasan industri yang listriknya berasal dari batu bara.
Dan itu akan segera dialami petani dan warga di Teluk Sepang Bengkulu dan banyak daerah lain yang akan dibangun pembangkit batu bara.
“Terdata 82% PLTU batu bara berada di pesisir. Operasi dan limbah yang dihasilkan akan meracuni biota dan pangan laut pesisir yang kembali akan dikonsumsi warga.
Dampak langsung akan dialami kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya seperti anak-anak dan kelompok paling dekat seperti nelayan dan masyarakat adat,” jelas anggota LSM Kanopi Bengkulu Ali Akbar.
Dalam laporan Analisis Timbulan & Kebijakan Pengelolaan Limbah B3 di Indonesia yang dikeluarkan oleh BAPPENAS disebutkan bahwa FABA termasuk dalam jenis limbah B3 terbanyak dihasilkan pada tahun 2019.