GRESIK, Poros Kalimantan – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendesak aparat kepolisian segera melakukan penyelidikan terkait kasus pelecehan seksual terhadap anak di Gresik, Jawa Timur.
Kasus pelecahan seksual anak bukan merupakan delik aduan, namun delik biasa yang tidak perlu menunggu adanya laporan korban.
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada Pasal 6 menyatakan setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dapat dipidana karena pelecehan seksual fisik.
Jika memenuhi unsur yang disebutkan dalam Pasal 6 UU TPKS, pelaku dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta,” katanya di Jakarta, Minggu, (26/6/2022).
Menurutnya, pihak kepolisian tidak perlu ragu untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Pasalnya, pelecehan seksual fisik terhadap anak bukan merupakan delik aduan yang diatur dalam UU TPKS Pasal 7.
Nahar menyebut, perbuatan cabul terhadap anak adalah bentuk TPKS. Oleh sebab itu, setiap seorang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung penyidikan dan penuntutan terhadap tersangka, terdakwa atau saksi dalam perkara TPKS, terancam sanksi pidana paling lama lima tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU TPKS.
“Kejadian ini juga sebagai bentuk pencabulan karena ada perbuatan menyentuh korban secara seksual. Jika memaksa anak menyentuh pelaku secara seksual menurut Pasal 76E UU 35 Tahun 2014, maka terjadi perbuatan cabul,” sebutnya.
Tersebab itu, jika memenuhi unsur pidana dalam Pasal 76E UU Nomor 35 Tahun 2014, lanjut Nahar, maka pelaku terancam sanksi pidana dalam pasal 82 UU Nomor 17 tahun 2016 dengan hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan/atau denda maksimal Rp5 miliar.