![]() |
BERI KETERANGAN – Manajer Kampanye Walhi Kalsel Muhammad Jefry Raharja memberikan keterangan kepada Poros Kalimantan, Selasa (22/6) siang. |
BANJARBARU, Poros Kalimantan – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan mendesak pemerintah, menangani dan menyelesaikan konflik agaria antara perusahaan perkebunan sawit dengan masyarakat yang terus terjadi di Kalsel.
Hal ini disampaikan, Manajer Kampanye Walhi Kalsel Muhammad Jefry Raharja kepada Poros Kalimantan, Selasa (22/6) siang.
Dia menerangkan, konflik yang berlangsung lama membuat penanganan ekosistem rawa gambut, antara perusahaan dan masyarakat menjadi berbeda.
Perusahaan dinilai lebih banyak menyebabkan kerusakan lahan gambut, ketimbang masyarakat yang mengelola lahan melalui kearifan lokal.
“Hingga saat ini konflik-konflik agraria itu tak diselesaikan,” terangnya.
Diakuinya, di wilayah konsesi dua perusahaan di Tapin dan Hulu Sungai Selatan misalnya, penolakan masyarakat sudah terjadi sejak awal perusahaan datang, sehingga terjadi konflik.
“Sampai sekarang, konfik belum selesai dan kepastian lahan pertanian masyarakat yang dirampas, masih belum jelas. Pemerintah pusat dan daerah harus segera turun tangan untuk menyelesaikan konflik argaria yang mengorbankan lahan pertanian masyarakat ini. Karena masyarakat sejak nenek moyang mereka sudah terbukti mampu mengelola lahan secara bijak,” tegasnya.
Walhi Kalsel terang Jefri, dalam pemantauan menemukan di kawasan konsesi perusahaan, tidak ada infrastruktur pembasahan seperti yang ditentukan Badan Restorasi Gambut (BRG).
“Yang ditemukan misalnya malah pompa pengeringan. Meskipun upaya penanggulangan karhutla ada dalam dokumen perencanaan, namun faktanya konsesi masih terbakar dan tidak nampak infrastruktur pembasahan untuk mencegah gambut menjadi kering,” bebernya.
Ditambahkannya, perusahaan hanya mementingkan tata air di dalam kebunnya. Sementara di luar konsesi terjadi kekeringan yang menyebabkan kebakaran. Ini terlihat di sekitar kanal dan tanggul pembatas perusahaan dengan lahan masyarakat.
“Lahan masyarakat terbakar, sementara di dalam kebun tidak,” ungkapnya.
Berdasarkan pantauan WALHI Kalsel, di kawasan konsesi lahan terbakar karena perusahaan tidak punya infrastruktur pembasahan dan kurangnya personil pemadam. Di luar konsesi lahan terbakar kerena kekeringan, yang juga diduga akibat drainase berlebih yang dipengaruhi aktivitas perusahaan.
Oleh sebab itu pihaknya mendesak, adanya penegakan hukum terhadap perusahaan yang terbukti telah menyebabkan karhutla.
“Perusahaan yang terindikasi lahannya terbakar ratusan bahkan ribuah hektar sampai saat ini belum jelas penindakannya oleh aparat penegak hukum. Sementara yang ditangkapi malah masyarakat yang mengelola lahan dalam jumlah kecil,” tegasnya.(zai)