![]() |
BERI KETERANGAN – Kepala Desa Parigi Tangkawang Beri Keterangan Pada Poros Kalimantan. |
RANTAU, Poros Kalimantan – Parigi Tangkawang salah satu desa di Kabupaten Tapin, dimana masyarakat nya menolak lahan gambut mereka dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Hal ini diungkapkan Kepala Desa Parigi Tangkawang, Kecamatan Bakarangan Kabupaten Tapin, Juhransyah saat ditemui Poros Kalimantan dirumahnya Selasa, (30/6) sore.
Juhransyah mengungkapkan, penolakan itu terjadi sejak tahun 2012 silam. Bahkan sampai 2020 ini, penolakan tersebut telah disepakati oleh semua elemen masyarakat di desanya.

Juhransyah menjelaskan alasan penolakan masyarakat terhadap masuknya perusahaan perkebunan sawit di wilayah mereka. Hal ini dikarenakan lahan pertanian, sumur ikan dan sungai ikan akan hilang. Jika lahan dialih fungsikan menjadi perkebun kelapa sawit.
“Pertimbangan saat itu kalau Perkebunan Kelapa Sawit masuk, warga akan kehilangan mata pencaharian. Baik yang bermata pencaharian sebagai petani dan penangkap ikan,” terangnya kepada Poros Kalimantan.
Diakuinya, dirinya akan selalu mengutamakan suara masyarakat Desa Parigi. Selama masyarakat menolak dirinya juga akan menolak perkebunan sawit ini.
“Sebagai Kepala Desa, saya ikut Masyarakat kalau semua tidak mengijinkan Perkebunan Sawit,” ucapnya.
Diakuinya, Lobi-lobi sempat dilakukan salah satu perusahaan sawit. Dengan memberikan Motor pada Aparatur desa dan tokoh masyarakat di desa Parigi Tangkawang.
Manager Kampanye Wahana Hidup Lingkungan Indonesia (WALHI) Kalsel Jefry Raharja, mengungkapkan, dari data pihaknya setidaknya ada 7 konsesi perusahaan sawit, dengan Luas sekitar 50.000 hektar dilahan gambut di Kabupaten Tapin.
Jefry juga menjelaskan, terjadi bebagai konflik agraria antara perusahan dan masyarakat terkait lahan plasma. Serta tumpang tindihnya kepemilikan lahan dan tidak dibayarnya uang pengganti pelepasan lahan.
“Objek konflik salah satunya adalah banyaknya terbit fisik tanah atau fisik plasma, menjadi penyebab tumpang tindih kepemilikan lahan serta sengketa tata batas administrasi di berbagai desa.Tidak hanya persoalan lahan dan tata batas. Tali asih dari perusahaan yang diperuntukkan untuk masyarakat sebagai pengganti pelepasan lahan tersebut tidak sesuai dengan kesepakatan dengan masyarakat,” tegasnya kepada Poros Kalimantan.(sry/zai)