Bobot sampah nantinya akan ditimbang di pos pendakian. Bagi siapa yang paling berat timbangannya, akan diberikan hadiah.
“Hadiahnya berupa kipas angin, voucher hotel, baju dan lain-lain,” ungkap Giri.
Lantas terbersit satu pertanyaan; apakah dengan acara satu malam ini sekonyong-konyong bisa membangkitkan rasa patriotisme? Giri punya jawabannya.
“Dengan acara ini setidaknya mereka jadi tahu, ternyata ada yang namanya Hari Kebangkitan Nasional. Jadi kemah ini sebenarnya mengenalkan. Toh kalau tak diperingati, mereka tak akan mengenal dan mengenang jejak perjuangan,” ujar Giri.
Pada malam harinya, disergap suasana dingin, peserta duduk melingkar menyisakan sebuah ruang di tengah. Di sana berbagai penampilan seni disuguhkan.
Salah satunya pembacaan puisi dan monolog dari Forum Literasi Senja. Lalu ada pula penampilan akustik, yang membuat peserta tergoda menyanyi bersama-sama. Suasana seketika hangat dengan tawa dan gemuruh tepuk tangan.
Acara ditutup keesokan harinya, Sabtu (20/5), usai upacara dan kuis berhadiah. Dalam upacara tersebut, betapa sakralnya, merah putih berkibar diembuskan udara pagi bebukitan.
Di samping itu, Ketua Bappeda Tala selaku salah satu penggagas acara, Ismail Fahmi juga bilang akan mengusahakan acara terselenggara setiap tahun.
Pada akhirnya, saya jadi teringat salah satu ucapan Soetomo (Bung Tomo): “Kemenangan dipersiapkan untuk orang-orang yang mau berjuang dan mau memperjuangkannya.”
Saya merasa menang, dan saya kira, semua orang di sana juga merasa menang. Juga teman saya, yang baru pertama kali mendaki dan nyaris dikalahkan rasa lelahnya. Kini, setelah acara tersebut, ia berencana ingin mendaki lagi.
“Bukan saja rokok, ternyata mendaki juga bikin candu, Bung,” ucapnya, dengan napas ngos-ngosan.
Penulis : Musa Bastara