Poros Kalimantan – Para Pakar internasional, mulai dari para ahli dalam bidang agama, hukum internasional dan hak asasi manusia mengecam terkait diskriminasi dan sebuah upaya penghancuran agama tertentu di Korea Selatan.
Hal ini dungkapkan dalam sebuah webinar tentang gerakan agama baru di Korea Selatan dan dimensi politik, agama, dan sosialnya.
Dengan tajuk ‘COVID-19 dan Kebebasan Beragama: Mengkambing-hitamkan Shincheonji di Korea Selatan’. Dalam webinar tersebut membahas isu yang baru muncul, tentang serangan agresif dari kekuatan politik konservatif dan gereja-gereja protestan fundamentalis, kepada denominasi Kristen yang baru didirikan tetapi tumbuh dengan pesat yang bernama Gereja Yesus Shincheonji (Langit yang Baru dan Bumi yang Baru) yang berdiri tahun 1984.
Gerakan Kristen baru oleh Shincheonji telah menjadi target penganiayaan dari Gereja Protestan fundamental, karena keberhasilan agama itu untuk berkembang.
“Dari Protestan Fundamental dan tradisional yang melihat Shincheonji sebagai kompetitor dan ingin menghancurkannya,” Sosiolog Agama Italia, kata Massimo Introvigne.
Massimo juga telah mempelajari Shincheonji sebelum dan sesudah pandemi COVID-19. Serta mempublikasikan laporan pertama mengenai kelompok agama tersebut, dalam Bahasa Inggris.
Sementara itu Ketua European Federation for Freedom of Belief, Alessandro Amicarelli menerangkan, bahwa pemerintah Korea Selatan mempermasalahkan Shincheonji, sebagai penyebab dari krisis COVID-19 untuk menutup gereja.
“Sudah ada 30 orang lain yang positif, sebelum pasien ke- 31 seorang anggota Shincheonji yang dikritik karena penyebaran virus. Banyak orang China termasuk yang dari Wuhan mengunjungi Daegu Korea Selatan dan infeksi menyebar,“ terangnya.
Direktur Human Rights Without Frontiers (HRWF), Willy Fautre mengatakan, bahwa serangan yang baru-baru ini terjadi pada Shincheonji, dapat dilihat sebagai upaya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Protestan fundamental di Korea Selatan, untuk melemahkan dan menghancurkan competitor dalam pasar keagamaan.
“Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap para anggota Shincheonji, melalui program pemaksaan pindah agama (yang juga disebut indoktrinasi). Dengan menculik dan mengurung selama sepuluh tahun terakhir, telah dilakukan akibat dari kegagalan bersaing oleh gereja-gereja protestan di negara itu,” bebernya.
Hal senada juga diungkapkan Profesor Asosiasi di Universitas Derby, Ciaran Burke mengungkapkan, bahwa Kementerian Kesehatan Korea Selatan secara eksplisit menghubungkan Shincheonji dan merebaknya COVID-19 sampai sekarang.