Oleh Muhammad Jefry Raharj, Staf Advokasi dan Kampanye Walhi Kalimantan Selatan, Jumat (22/7/2022)
Samar di ingatan dinamika gerakan sosial politik pada medio 2019 lalu. Peristiwa memilukan lima mahasiswa tewas di tembus peluru tajam aparat saat aksi menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Berita ini begitu menggemparkan, ditulis sebagai berita utama setiap media, namun seakan-akan kematian massa aksi itu hanya soal angka dan nasib mereka yang kurang mujur.
Kekhawatiran mengenai runtuhnya demokrasi tanpa kekerasan telah menjadi nyata. Kata reformasi seakan telah basi diubah zaman. Padahal banyak dari kita yang tahu, politikus yang kini duduk mewakili rakyat juga adalah ‘pejuang reformasi’ di era orde baru.
Mengutip lirik lagu band folk indie asal Surabaya Silampukau, “Mentari tinggal terik bara tanpa janji, Kota tumbuh kian asing, kian tak peduli, dan kita tersisih di dunia yang ngeri dan tak terpahami ini”. Lirik lagu Silampukau terasa syahdu berbisik di telinga kita tentang kenyataan hidup hari ini. Sesuai dengan judul kutipan lirik lagu tersebut yaitu Balada Harian, sepertinya kehidupan berdemokrasi kita kian pelik dan menjadi ‘balada’ setiap harinya.
Mengenai kekerasaan aparat sepertinya juga sudah menjadi bahan gerutu bagi beberapa kalangan masyarakat. Kadang bisa didapati dalam perbincangan warung kopi atau reuni teman lama.
Saat melihat lini masa media sosial, ada postingan yang bertuliskan “jangan biarkan nyala lilin padam”. Di dalam unggahan itu, juga tertulis beberapa nama di antaranya; Bagus Putera Mahendra, Immawan Randy, Maulana Suryadi, Akbar Alamsyah, Muhammad Yusuf Kardawi. Mereka berlima adalah korban jiwa dalam aksi pada 2019 lalu. Bagi penulis, mereka adalah sebenarnya abdi negara dan ‘pahlawan’ rakyat.
Salah satu hal yang menggelitik ketika beberapa waktu lalu hebohnya kematian anak pejabat publik Indonesia di luar negeri. Berita ini seakan tidak ada habis-habisnya, juga seperti ditunggu-tunggu. Lalu bagaimana kabar tentang korban jiwa dalam demonstrasi, tragedi semanggi, tragedi trisakti dan korban peristiwa 1998 lainnya yang mewujudkan reformasi. Ada Ibu Sumarsih yang sampai saat ini tetap berdiri setiap hari kamis di depan Istana Presiden menuntut keadilan untuk anaknya Wawan.
Sebagai manusia kita diberi kapasitas yang sama dengan takdir yang mungkin berbeda. Namun, kekerasan aparat seharusnya bukan takdir karena itu bisa dicegah. Kita mestinya juga percaya bahwa perilaku yang menyebabkan kematian bukan kebetulan, tetapi ada kontribusi kelalaian dan kegagalan. Akhir Juni tadi, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) merilis laporan pemantauan dan advokasi. Kontras juga merilis laporan mereka bertepatan dengan peringatan hari Bhayangkara.