JAKARTA, Poros Kalimantan – Wacana sistem pemilu proposional tertutup atau coblos partai mencuat di publik menjelang Pemilu serentak 2024. Dua kader partai politik saat ini tengah mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), termasuk soal sistem proporsional terbuka.
Tak hanya dua kader sebagai pemohon dalam uji materi tersebut, namun juga terdapat empat perseorangan warga negara.
Pemohon perkara nomor: 114/PUU-XX/2022 terdiri dari Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi) Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem); Fahrurrozi (Bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok). Mereka menggandeng pengacara dari kantor hukum Din Law Group sebagai kuasa.
Para pemohon meminta agar MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional, sehingga sistem pemilu di Indonesia dapat diganti dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Lalu, apa untung rugi jika sistem pemilu menggunakan coblos partai atau coblos caleg?
Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil menilai jika Indonesia kembali menggunakan proporsional tertutup atau coblos partai sangat melanggar konstitusi. Yang mana, hingga saat ini aturan yang ditetapkan masih menggunakan proporsional terbuka atau coblos caleg.
“Pemilu 2024 di dalam aturannya masih menggunakan sistem proporsional terbuka. Jika dipaksakan menggunakan sistem tertutup, maka itu adalah pelanggaran hukum dan konstitusi,” ujar Fadli, saat dihubungi wartawan, Selasa, (3/1/2022).
“Tidak ada ruang untuk mengganti sistem pemilu proporsional terbuka jadi tertutup,” sambungnya.
Dia menyebut, jika sistem Pemilu 2024 menggunakan coblos partai kerugian besar bagi rakyat Indonesia sebagai pemilih pada pemilu nanti. Sebab, akan merenggut kedaulatan rakyat.
“Tertutup jelas itu akan merenggut kedaulatan rakyat, dan itu pelanggaran konstitusi. Apalagi di tengah situasi belum demokratisnya partai,” tegas Fadli.
Kendati demikian, Fadli tak menafikan jika sistem coblos caleg banyak kerugian. Namun, seharusnya permasalahan dalam sistem tersebut menjadi perhatian khusus untuk para calon yang akan bertarung nanti. Terlebih, kepada pengawas pemilu dan aparat penegak hukum.
“Kalau sistem terbuka, tantangannya adalah sama sebetulnya, demokratisasi partai di dalam pencalonan. Dengan kondisi itu, mestinya sistem terbuka dilanjutkan saja. Dengan penguatan penegakan hukum untuk potensi politik uang,” imbuhnya.
Perbedaan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup
Sistem pemilu legislatif (pileg) di Indonesia menganut prinsip proporsional terbuka. Sistem ini digunakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Ketentuan mengenai sistem pemilu legislatif ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 168 Ayat (2).