Ketiga, adalah ruang ruangan yang disebut Baanjung yang paling luas. Nah, ruangan inilah yang bisa dipakai pengunjung untuk prewed, foto model, atau berbagai keperluan lainnya.
Pada umumnya, masyarakat Banjar di masa lampau, ruang anjungan menjadi ruang keluarga untuk berkumpul.
Keempat yakni ruang belakang yang menjadi kamar tidur, dapur, dan tempat menyimpan-nyimpan barang. Tanpa dinding/sekat atau pun “tawing halat” sama sekali.
Ketika kita melangkahkan kaki ke bagian belakang, tidak ada yang tertutupi. Kita langsung melihat ranjang khas sebagaimana yang diperkenalkan ranjang kerajaan Banjar. Bahkan tampak di salah sudut Nini Fauziah menyimpan barang-barang antik seperti guci, mangkok, panginangan, mesin jahit, dan lemari baju yang kayunya sudah sangat tua namun masih sangat kuat.
“Kami memang sudah dinasihati agar tidak merubah-rubah keasliannya. Tinggali lagi merawat, mendiami, dan menyambut tamu-tamu yang datang untuk berkunjung,” ujar Nini Fauziah.
Rumah adat Banjar ini telah berkali-kali renovasi/pemugaran dalam hal penggantian atap dan dinding. Juga pada bagian lantai. Namun tetap menggunakan jenis kayu yang sama. Yaitu: Kayu Ulin.
Rumah Adat Banjar menjadi saah satu aset daerah Kalimantan Selatan yang hingga kini masih sangat terjaga dan terbuka bagi siapa saja.
Banyak wisatawan dari kalangan pejabat, artis, film, menjadi lokasi syuting, foto, dan juga bahan penelitian arsitek. Keberadaannya menjadi penting, tak hanya sebagai tempat tinggal, tapi juga budaya masyarakat Banjar yang menjunjung tinggi kekuatan, serta keyakinan religiusitas dalam rumah.
Kami berpamitan setelah begitu banyak kisah yang tak pernah cukup untuk sekali saja. Berharap kelak, rumah ini terus terpelihara dan terjaga. Hingga menjadi pelajaran dan pendidikan yang baik untuk anak-cucu generasi selanjutnya. []
Penulis: Renanda Ismaili Putri/Ananda Perdana Anwar