Karier Rosihan tak hanya di bidang tulis menulis. Berkat ilmu yang didapat dari Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat (1950), ia pun rancak dalam membuat film. Bersama Usmar Ismail, ia mendirikan Perusahaan Film Perfini pada 1950.
Ia mulai menjelajah dunia perfilman dengan film pertama ‘Darah dan Doa’ ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan menjadi produser film ‘Terimalah Laguku’. Sejak akhir 1981, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film.
Namun, warisan yang sangat berharga bukan hanya film. Rosihan sudah meninggalkan warisan berharga melebihi segunung intan, yakni buku.
Sedikitnya 21 buku telah terbit dari tangan maestro tersebut.
Torehan intan yang akan terus dibaca oleh anak bangsa sebagai bahan refleksi untuk memperbaiki kesalahan dan melempar jauh dosa-dosa yang telah membuat bangsa ini menjadi kerdil. “Pak Rosihan Anwar itu punya daya ingat yang luar biasa,” begitu kata Prof. Syafi’i Maarif yang merujuk kearifan dan kepantasan Rosihan layak disegani masyarakat luas.
Alasannya tak lain karena pergaulan dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh penting di negeri khatulistiwa ini selama lima zaman. Hal itu yang menjadi inti kekuatan dari tulisan-tulisannya. Sebab, menulis lewat interaksi langsung dengan tokoh yang diceritakan menjadi catatan lebih hidup, tak sekadar teori.
Meski terkadang tulisannya tajam, tetapi sisi romantis tak bisa dilepaskan dari anak keempat dari sepuluh bersaudara itu. Menjelang wafat 11 tahun lalu, Rosihan tengah merampungkan ‘Belahan Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida’, sebagai prasasti cinta yang menjadi pelajaran buat para petualang cinta yang tak pernah puas dengan satu kekasih hati.
“Kakek saya bekerja sebagai kepala stasiun kereta api pada zaman kolonial. Dia Paman Marah Roesli pengarang roman Siti Nurbaya dan Roestam Effendi putra Indonesia yang terpilih jadi anggota Parlemen Belanda (Twede Kamer) yang mewakili Partai Komunis Belanda,” begitu kata Rosihan di Petite Histoire.
Pernyataannya itu menjawab pertanyaan mengapa ia begitu apik dalam menulis. Alasannya tak lain karena ia memiliki darah seni dan sastra. Seperti kata pepatah, ‘Buah jatuh tak jauh dari pohonnya’.
Semasa hidupnya, Rosihan dikarunia tiga orang anak hasil pernikahannya dengan Siti Zuraida Binti Moh. Sanawi pada 1947. Pada September 2010, istrinya sudah lebih dulu berpulang pada usia 87 tahun.
Pada 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan PWI di Surakarta pada 1946 mendapat penghargaan ‘Life Time Achievement’ atau ‘Prestasi Sepanjang Hayat’ dari PWI Pusat. []
Sumber: kurusetrarepublika/republika
Editor: Ananda Perdana Anwar