JAKARTA, Poros Kalimantan – A footnote of history atau ‘Sebuah Catatan Kaki dalam Sejarah’, julukan yang disematkan kepada Rosihan Anwar oleh tokoh pers dan ahli hukum senior, Tasrif, S.H. Barangkali Rosihan Anwar adalah satu dari sedikit wartawan yang memiliki pengalaman luar biasa sebagai seorang pewarta.
Ia adalah ‘kuli tinta’ yang melintasi lima zaman, mulai dari masa penjajahan ‘saudara tua’ Jepang, Orde Lama zaman Ir. Soekarno, Orde Baru rezim Soeharto, hingga era Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY). Berangkat dari sanalah, pria kelahiran 10 Mei 1922 itu pantas disebut maestro jurnalisme Indonesia.
Hingga ia meninggal di usia 89 tahun pada Kamis (14/4/2011), ia tak pernah lepas menulis. Meski gangguan jantung yang dideritanya mengharuskannya mondar-mandir ke rumah sakit.
Rosihan semula hanyalah anak kampung.
Dilahirkan di sebuah kampung kecil yang dikelilingi bukit barisan, Kubang Nan Duo, Solok, Sumbar, ia menyelesaikan pendidikan di HIS (1935) dan MULO (1939) di Padang, lalu merantau ke Kota Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan di AMS-A II pada 1942. Dari sana ia telah membuka pintu gerbang untuk menjelajahi dunia.
Setahun di “Kota Gudeg”, ia mulai merintis karier sebagai seorang jurnalis di surat Kabar Asia Raya kemudian loncat ke Majalah Siasat lalu Koran Pedoman. Pada medio 1945-1946 ia dipercaya pemilik sekaligus pendiri Harian Merdeka, B.M Diah sebagai redaktur. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi bagian dari sejarah agresi Belanda (Clash) ke-II ke Yogyakarta yang kala itu menjadi Ibu Kota RI.
Selama satu dekade, Rosian Anwar terus berpindah-pindah media. Mulai mendirikan Majalah Siasat (1947-1957), Pendiri/Pemred Harian Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974), menjadi Kolumnis di berbagai media seperti Business News (1963), Kompas, KAMI, AB (1966-1968), Koresponden harian The Age, Melbourne, harian Hindustan Times New Delhi, Kantor Berita World Forum Features, London, mingguan Asian, Hong Kong (1967-1971), Koresponden The Straits, Singapura dan New Straits Times, Kuala Lumpur (1976-1985), wartawan Freelance (1974), hingga menjadi Kolumnis Asiaweek, Hong Kong (1976).
Ia juga dipercaya sebagai Ketua Umum PWI Pusat (1970-1973), lalu menjadi Ketua Pembina PWI Pusat (1973-1978) ketika digantikan Harmoko, dan terakhir menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1983).
Karena itu, Rosihan dan Jurnalistik seperti dua sisi mata uang, tak bisa dilepaskan.
Dalam buku terbitan terakhirnya, ‘Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia Jilid IV’ terbitan Juni 2004, pemilik nama kecil Rozehan, berarti Sinar Cahaya itu menceritakan advise-nya kepada Anwar Ibrahim muda untuk mengubah haluan perjuangan.
“If can’t beat them, join them. Jika tak bisa mengalahkan UMNO bergabung saja dengan UMNO,” tulis Rosihan. OMNU adalah Organisasi Nasional Melayu Bersatu atau United Malays National Organisation, partai politik terbesar di Malaysia dan pendiri dari koalisi Barisan Nasional, yang telah memerintah Malaysia sejak kemerdekaannya tanpa terputus.
Tak hanya itu, ada tulisan ciamik lainnya dari Rosihan, tentang cerita ‘Belajar Sholat’ Prof. Soedjatmoko sebelum dikirim ke Washington sebagai Dubes RI. Tulisan Rosihan tentang Soedjatmoko tak berbeda jauh dengan uraian mantan ketua umum PP Muhammadiyah, Prof Ahmad Syafi’i Ma’arif yang mengatakan, “Soedjatmoko menemukan kesholehan di hari tuanya. Berbeda dengan tutornya, Sjahrir, yang tak sholat hingga kematiannya di Zurich Swiss pada usia 57 tahun,” kata Syafi’i.