“Bahkan masih kanak-kanak kita sering bermain-main di sini. Biasanya kalau dapat ada tanda-tanda intan kita langsung mengucap salawat,” katanya.
Ia pun menunjukkan salah satu sudut luas yang air mengalir layaknya sungai. Begitu panjang dan lebar. Diceritakannya bahwa tempat tersebut adalah lubang bekas galian yang sudah permanen. Airnya tak akan surut lagi. Menjadi sungai. Dan lokasi yang dimaksudkan itu adalah lokasi peristiwa-peristiwa tragis yang memakan korban nyawa para pendulang akibat longsor. Peristiwa tersebut hampir terjadi di setiap musim. Selalu ada berita korban nyawa dalam beberapa kurun waktu.
Kunjungan Wisatawan Asing
Tak berselang lama, di salah satu sudut seorang tour guide tampak membawa 2 orang wisatawan asing. Berdarah Belanda. Sepasang. Rambutnya putih, masing-masing bersepatu ket dan tas ransel.
Mimiknya serius memerhatikan salah seorang pendulang mempraktekkan cara mendulang menggunakan intan. Si tourguide-nya menjelaskan dengan seksama menggunakan bahasa Inggris. Seusai penjelasan demi penjelasan dijabarkan, mereka pun mengajak foto bersama. Termasuk kami yang berada di sana.
Demikian Desa Pumpung. Jika kita berjalan untuk sekadar melihat-lihat, banyak jejak-jejak kondisi sosial masyarakat yang masih mengakar di sana. Yang terkini, pemerintah membangun suatu bangunan yang dinamakan pusat informasi.
Rencananya, pada ruang tersebut akan di-display atau dipertontonkan berbagai macam jenis bebatuan permata dan tentu saja intan yang pernah didapati di tanah ini. Desa Pumpung pun kini menjadi destinasi yang dilindungi. Termasuk dalam Geopark Meratus sebagai aset budaya yang diwarisi turun temurun.
Matahari sudah semakin tinggi. Kami beranjak pergi. Membayar parkir menjadi obat bagi para pekerja yang telah mengharapkan sesuatu untuk bisa dibawa pulang. Dari pemberian uang para wisatawan. Dari kendaraan yang mereka amankan. Untuk sekadar makan, bahkan untuk dibawa pulang dan ditabung sebagai keperluan jangka panjang.
Desa Pumpung akan selalu terkenang dan menjadi daya tarik wisatawan. Desa Pumpung, masih menjadi sarana edukasi sebagai tanda bahwa di Banjar, di Kalimantan Selatan, intan terbaik didunia lahir dari tangan-tangan keras dan jerih payah manusia-manusia di desa. []
Penulis: Renanda Ismaili Putri/Ananda Perdana Anwar