BANJARBARU, Poros Kalimantan – Berdasarkan data BPS, angka produksi pada di Kalimantan Selatan di tahun 2019 terhitung 1.342.862 ton dengan luas panen yaitu 356.246 hektar. Sedangkan angka di Tahun 2020 luas panen 292.027 hektar dan produksi padi 1.134.450 ton.
Data tersebut menunjukan penurunan luas panen sekitar 18,03 persen dan produksi padi 15,52 persen antara Tahun 2019 hingga 2020. Angka ini cukup besar, walaupun antara Tahun 2018 hingga 2019 sempat naik luas panen sebanyak 10,26 persen dan produksi padi 1,16 persen.
Dari data tersebut, Walhi Kalsel dalam rilisnya, Jumat (24/9/2021) menganggap sebuah ironi saat berkurangnya ruang kelola rakyat di sektor pertania. Sejalan juga praktik-praktik penggusuran dan perampasan tanah rakyat demi kepentingan investasi khususnya sektor perkebunan sawit dan tambang yang semakin mempersempit wilayah kelola rakyat.
Beban perizinan industri ekstraktif dan perizinan lainnya sudah menyandera lebih dari 50 persen total wilayah Kalsel dengan luas 3,7 juta hektar. Adapun beban perizinan tersebut diantaranya 1,17 juta hektar atau 31,20 persen mineral dan batu bara, 207.477 hektar atau 5,55 persen konsesi perkebunan (sawit), 754.702 hektar atau 20,19 persen Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).
Di sisi lain perubahan iklim dan bencana ekologis menjadi tantangan utama bagi para petani yang sangat mengandalkan musim. Tingginya kebutuhan modal untuk produksi kadang tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan.
Pengetahuan lokal telah tergusur oleh peradaban modern yang selalu mengiklankan produk alat pertanian dan pupuk non organik atau kimia yang sebenarnya merusak kondisi tanah dan membuat petani ketergantungan pada produk kaum kapitalis yang hanya memperkaya pemodal.
Monopoli sektor pertanian ini juga telah mendustakan pengetahuan lokal yang sudah dibangun berabad-abad yang lalu. Kini kita sadar tentang pentingnya pertanian organik yang sebenarnya ada sejak lama dan dipraktikan oleh pengetahuan lokal petani tradisional.
“Artinya kita telah mengalami kemunduran cara berpikir soal bagaimana pertanian yang harusnya dipertahankan itu adalah soal kualitas dan pengetahuan petani yang harusnya kita rawat bukan bagaimana produksi itu dipaksakan memenuhi target kuantitas namun merusak struktur tanah atau ekosistem suatu wilayah,” tulisnya.
Ancaman bencana ekologis oleh korporasi nyata terjadi di Kalsel, seperti yang terjadi di Kabupaten Tapin (15/7) lalu telah merusak lahan persawahan seluas 6,11 hektar dan kolam ikan seluas 6,65 hektar. Lahan ini berbatasan langsung dengan konsesi PT. BMB yang dianalisa dengan Citra Satelit Esri GeoEye Tahun 2020 terdapat dugaan bukaan tambang di luar izin kosesi dengan luas 106,80 ha. Bukaan Tambang tersebut berada di Desa Sawang (8,20 ha), Tambarangan (81,33 ha) dan Rumintin (17,27 ha).
Beberapa tahun terakhir konflik agraria semakin masif terjadi, ini seiring juga dengan terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law). Walhi Kalsel menghimpun dan mencatat dalam 5 tahun terakhir setidaknya ada 5 Kabupaten yang paling berpotensi terjadi konflik agraria.