Menjadikan Banjarbaru sebagai Ibu Kota Kalimantan Selatan bukan cerita baru. Tapi sudah tercetus sejak era awal kemerdekaan.
Penulis: Mada Al Madani
Poros Kalimantan
Ide ini pertama kali muncul di tahun 1950. Tepatnya ketika Kalimantan dipimpin Dr Murjani. Gubernur ketiga setelah Pangeran Muhammad Noor.
Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur menceritakan. Kala itu dalam Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 59, Indonesia dibagi dalam sepuluh pemerintahan daerah provinsi yang bersifat administratif. “Satu di antaranya Provinsi Kalimantan,” imbuhnya.
Jelang terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara resmi. Pada tanggal 14 Agustus 1950 Gubernur Kalimantan; Murjani membuat Keputusan Nomor 186/OPB/92/14 untuk membentuk beberapa daerah kabupaten, daerah istimewa dan kotapraja (setingkat kabupaten).
“Peranan dr Murjani yang patut diingat dalam pembangunan di Kalimantan Selatan antara lain idenya menjadikan Banjarbaru ibu kota provinsi Kalimantan,” tutur Sammy -panggilan akrab Mansyur.
Kala itu, Murjani merilis program yang dikenal Moerdjani Plan. Ia menyiapkan sebuah kota yang kemudian diberi nama Banjarbaru. Rancangannya dibuat oleh Van der Pijl. Kala itu ia adalah Insinyur Kepala Departemen Pekerjaan Umum (DPU).
“Pada tahun 1952-1957 sebagai Insinyur Kepala DPU, ia diperbantukan pada Provinsi Kalimantan sebagai Kepala bagian Gedung-Gedung dan Perencanaan/Pelaksana Banjarbaru,” ungkap.
Memindah ibu kota dari Banjarmasin ke wilayah baru bukan tanpa alasan. Berawal dari pemandangan tak nyaman sewaktu Gubernur Moerdjani memimpin apel pagi.
Ia merasa tak nyaman dan resah melihat kondisi tanah Banjarmasin yang sering terendam air. Apalagi saat musim hujan.
“Gubernur Murjani pun berpikir untuk segera memindah ibu kota kala itu. Karena kondisi tanah di Banjarmasin sudah terlalu rawan akan bahaya banjir,” jelas Manyur.