Semula alat musik ini dimainkan para peladang suku Dayak Meratus saat bergotong-royong menanam padi.
Kemudian sang pengantin pria datang. Kedua mempelai pria dan wanita duduk bersisian. Pada kursi mereka diberi bantalan dan guci bergambar kembang.
Kepala pengantin pria memakai laung (topi khas daerah suku Banjar). Sebilah mandau terselip di pinggangnya. Ia adalah pria paling gagah di hari itu.
Sedangkan pengantin wanita kelihatan cantik. Ia mengenakan galung berhiaskan mayang dari pohon pinang.
Selanjutnya mereka menaiki lanting. Lanting itu mempunyai hiasan berbentuk naga. Terbuat dari batang pohon yang diukir.
Lantas mereka mulai mengarungi sungai, di sekitar rumah sang pengantin.
Hingga kemudian datang kejadian tak disangka-sangka saat di liang, atau di titik terdalam sungai. Hiasan naga itu bergoyang dan mulutnya menganga. Hiasan itu mendadak hidup.
Lidah naga itu menjulur seperti mau memangsa. Kedua matanya membeliak serupa murka.
Melihat itu, sang pawang secepatnya mencabut parang dan mengayunkannya. Sekali tebasan, meninggalkan luka di kepala sang naga. Darah bercucuran.
“Usai kejadian itu, tempat itu dinamakan Lok Naga,” ujar Aidi, di akhir ceritanya.
Hingga kini, kepala naga dari kayu itu masih disimpan. Dalam budaya bearak pengantin, hiasan naga masih digunakan sampai saat ini. Terutama bagi mereka yang memiliki darah keturunan dengan pengantin.
Reporter : Akbar Rizaldi
Editor : Musa Bastara