BARABAI, Poros Kalimantan – 27 tahun silam, Banjarmasin luluh lantak. Kerusuhan yang dikenal sebagai Jumat Kelabu itu menyisakan luka kelam.
Tim Pencari Fakta YLBHI mencatat ada 123 korban tewas, 118 luka-luka, dan 179 orang hilang. Peristiwa itu juga mengakibatkan puluhan gedung hancur.
Lantas bagaimana tragedi ini di mata anak muda?
Poros Kalimantan bertanya kepada dua mahasiswa. Mereka sepakat; tragedi itu harus terus diingat. Bukan menyibak luka lama, tapi untuk memupuk semangat kritis.
Belajar dari Tragedi
Menurut mahasiswa UIN Antasari Banjarmasin, Husein Fakhrezi, sejarah seperti Jumat Kelabu penting dipelajari. Terutama untuk memahami risiko politik yang tak transparan dan tak adil.
“Dengan belajar dari sejarah, kita bisa jadi agen perubahan yang mempromosikan demokrasi, keadilan, serta perdamaian masyarakat,” katanya kepada Poros Kalimantan, Kamis (23/5).
Menurutnya, generasi muda dengan segala idealismenya, perlu menengok tragedi itu. Bukan untuk menyemai dendam, tapi membangun kesadaran kritis.
“Di balik catatan buram itu, tersimpan pelajaran pentingnya transparansi, keadilan, dan nilai kemanusiaan,” imbuhnya.
Mengabaikan tragedi seperti Jumat Kelabu, lanjutnya, sama saja dengan membiarkan sejarah terulang. “Kebodohan kolektif yang tak semestinya diwariskan,” tegasnya.
Kata Husein, generasi muda adalah penggerak perubahan. Penjaga masa depan. Suaranya masih jernih.