Oleh: Habib Salim A Vad’aq, Mahasiswa UIN Antasari Banjarmasin
Malam itu selepas saya pulang dari kampus tercinta untuk konsultasi akademik, seperti biasa untuk melepas penat, saya scroll akun tiktok untu mencari inspirasi apa konten selanjutnya yang saya ingin bagikan kepada sahabat yang mengikuti VT saya. Tidak seperti biasanya, saya menjumpai sebuah berita yang membuat saya takjub sekaligus terhenyak lalu terbawa “emosi”.
Sedikit mundur, tepatnya Minggu, September 2021 atas perintah Presiden RI, ikon baru kebanggan Kota Banjarmasin dibuka untuk umum. Jembatan Alalak, atau netizen Banjar lebih mengenal dengan sebutan “Jembatan Basit” yang didaulat menjadi jembatan gantung lengkung pertama di Indonesia itu sontak seolah berubah menjadi Pasar Malam. Bagaimana tidak, Para pedagang kaki lima berbondong membuka lapak dagangan ditengah ramainya warga yang berkerumun. Ada yang berswafoto, menjajal jembatan baru, atau sekadar melihat-melihat saja.
Sepintas tidak ada yang salah, semua tampak normal. Namun bila ditelisik lebih dalam, kita dapat menemukan setidaknya ada 2 permasalahan yang bagi saya terlihat sepele namun berdampak besar dan bahkan merefleksikan adanya problem sosial ditengah kita. Hal yang saya maksud disini adalah mati surinya kesadaran masyarakat serta egosentris manusia.
Begini, sempat saya singgung diawal bahwa Jembatan ini dipopulerkan oleh Netizen dengan sebutan ‘Jembatan Basit” alih-alih nama aslinya. Bukan tanpa alasan, asbabul nuzul sebutan ini muncul karena adanya oknum segerombolan pengendara moge yang ngeyel melintasi jembatan baru ini sedangkan belum dibuka secara operasional.
Kisah selanjutnya lebih ajaib! “Keluarlah…Aku anu, ading (adik) Basit,” ucap pengendara mobil kepada penjaga jembatan dari potongan video yang santer tersebar. Seolah “ading basit” merupakan password pamungkas agar mendapat legalitas untuk melengang. Konon, Basit adalah seorang yang berpengaruh di wilayah sekitar.
Fenomena berikutnya muncul tatkala dibuka secara operasional. Berbondong pedagang kaki lima menjajakan dagangannya. Mirisnya, masalah “Sampah” seolah menjadi status quo yang tak terselesaikan. Baru beberapa hari saja dibuka, kini meninggalkan tumpukan sampah yang menambah beban PU untuk memperindah kembali keanggunan Jembatan Alalak.
Pembaca budiman. Seolah menjadi budaya praktik nipotisme di tanah air, dari hulu hingga hilir, dari elitis hingga mikro. Mentang-mentang memiliki “Orang Dalam”, lantas mengesampingkan hak orang lain. Saya lantas teringat, ada benarnya juga teori yang diajukan Thommas Hobbes, Homo Homini Lupus, manusia memangsa satu dengan lainnya demi memuaskan hasratnya.
Disaat kita selalu mendambakan negeri yang bersih dari praktik KKN demi menjernihkan zaman reformasi, di sisi lain justru kehidupan mikro yang sangat dekat dengan kita tanpa disadari karib akan budaya nipotisme mikro.