Teguran Tuhan akan bencana banjir kuadrat yang belum pernah terjadi sebelumnya seolah masih belum membuat kita terbangun. Masih belum kering ludah kita mencela kinerja pemerintah lokal dengan mengajukan berbagai petitum. Seolah kita amnesia, jembatan yang digadang menjadi local pride kitapun pada akhirnya harus mencicipi ulah tangan usil dengan bertumpuknya sampah yang melukai mata yang memandang keindahan Jembatan baru ini.
Dua fenomena ini memberi pelajaran kepada kita bahwa kita masih memiliki masalah status quo yang solusinya belum muncul hilalnya. Pemahaman agama yang didakwahkan oleh para pengkhotbah serta ilmu yang kita dapat secra formal melalui instansi pendidikan di bangku sekolah maupun universitas mengenai keindahan, kebersihan, serta integritas belum sepenuhnya kita resapi dalam diri kita.
Kita bisa mencontoh bagaimana akhlak lebah. Bahkan Allah pun menyuruh kita untuk belajar kepada lebah bagaimana kita sebaiknya bersikap. Lebah selalu hidup mandiri, tak pernah berpinsip adigang, adigung, adiguna. Sebaliknya, lebah justru gotong royong membangun ekosistem dengan memberi simbiosis mutualisme antara koloninya dengan bunga sebagai mitra sumber makanannya. Subhanallah.
Ringkasnya, kita masih perlu remedi untuk memperbaiki kesadaran diri sendiri. Apa kita perlu diberi surat SP yang kedua oleh Allah melalui bencana-bencana untuk menyadarkan ke kita bahwa perubahan dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu?
Mari kita segera berbenah. Mari kita segera perbaiki mentalitas kita, integritas kita, dan tafaqquh terhadap lingkungan sosial. Belum ada kata terlambat. Innallah yuhibbu tawabiina wa yuhibbul mutathahhiriin (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri).