SURABAYA, Poros Kalimantan – Kisah dari Surabaya Jawa Timur ini patut menjadi inspirasi. Sebagai penggemar mode, Ida Rosita (41 tahun) memutuskan untuk terjun ke industri ini. Kisah ini akunya, bermula dari kampung tempatnya tinggal di Jambangan, Surabaya, yang mengikuti lomba Surabaya Smart City (SSC). Ini merupakan program yang diluncurkan Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 2019.
Salah satu tujuan lomba tersebut untuk memberdayakan masyarakat, mengajak wanita-wanita di kampung berkegiatan agar mendapat penghasilan tambahan. Pada lomba ini, Ida mengusulkan memulai usaha pakaian Wanita dengan mengadopsi Teknik ecoprint dengan nama Ecoprint Girly Lestari.
“Awalnya Surabaya Smart city, sebenarnya bukan saya yang menggagas ecoprint ini. Jadi, saya bersama Ibu RT membuat sesuatu di kampung bersama warga. Lalu ada lomba SSC tahun 2019, akhirnya kami buat ecoprint untuk menunjukkan keunggulan usaha yang dimiliki kampung kami,” ujarnya.
Saat itu hasil produk ecoprint di kampungnya menjadi daya tarik wisatawan yang datang ke Surabaya. Seiring berjalannya waktu, Ida melihat ada potensi yang bisa dikembangkan melalui kerajinan ecoprint ini. Dia memutuskan membuka usaha sendiri di tahun 2019, meski saat itu usahanya belum memiliki izin resmi. Selang setahun, tepatnya tahun 2020 akhirnya Ida memiliki izin usaha ecoprint.
“Biar tetap jalan dan tidak mengandalkan penjualannya ketika ada tamu saja, saya pikir harus punya izin-izin agar bisa masuk ke sentra-sentra UKM. Jadi saya urus izinnya, agar penjualannya bisa berkelanjutan juga,” terangnya.
Ida bercerita, ecoprint adalah seni mencetak daun, bunga, akar, kayu di atas kain. Juga isa dijadikan produk fashion, craft dan home decor. Dari sini, dia berkomitmen untuk menghasilkan produk-produk zero waste guna mengurangi limbah, dan menghasilkan produk yang ramah lingkungan.
Untuk modal sendiri terbilang masih sedikit yaitu Rp 3 juta, yang dipakai Ida untuk membeli bahan-bahan pembuatan ecoprint. Mulai dari kain, dan pewarna alam, tapi itu tidak termasuk peralatan. Karena usaha ecoprint ini bukan murni hasil gagasannya, produksinya pun masih dibantu warga setempat. Akunya ada 2 warga yang membantu. Mereka mendapatkan upah ketika ada barang yang terjual.
“Sistem komisi, kami tidak gaji tiap bulan. Pokoknya jika ada yang terjual saya kasih, jadi tidak terikat,” ujarnya.
Produk-produk yang dijual dari hasil ecoprint Ida ini, harganya yang paling murah adalah masker dijual Rp 20.000 pern satiluan. Sementara produk termahal ecoprint baju, dengan kisaran harga Rp 350.000 hingga Rp 400.000.
Perempuan asal Surabaya ini mengungkapkan, ciri khas hasil produk ecoprint yang dibuatnya terletak pada warna yang cerah. Biasanya, ecoprint itu menyerupai batik. Namun, ia memilih beragam warna agar lebih menarik konsumen.