Tak hanya satu RT dalam satu desa. Masih ada bangunan di lewatan sungai yang menuju Desa Bulayak, Baru (Waki) dan beberapa lainnya yang ikut hancur.
Yani menceritakan, air banjir sempat memasuki pemukiman warga. Namun juga hanya berlangsung singkat. Letak tinggi desa adalah faktor yang cukup menguntungkan. Air tak berdiam lama. Namun juga arusnya menjadi sangat berbahaya. Hasilnya, banjir bandang tak terelakan.
Berselang seminggu setelah banjir bandang, ingatan tentang hebatnya air dapat dilihat dari banyaknya peninggalan reruntuhan. Bak situs bersejarah yang baru ditemukan. Baik di Desa Alat, maupun desa sekitarnya.
Empati dari beragam pihak datang. Acil Ati, begitu ia sering dipanggil, salah seorang warga di RT 02, menuturkan banyaknya bantuan datang.
“Banyak datang dari arah Kalimantan Timur. Karena memang juga jalurnya lebih mudah ke sini,” jelasnya.
Bantuan makanan dan logistik mereka dapatkan. Pengungsi yang mendirikan tenda atau pun menginap di rumah keluarga cukup terjamin perutnya. Apalagi pakaian. Berkarung-karung pakaian menumpuk di pinggiran jalan desa. Sebagian diambil, sebagian tak tahu nasibnya.
“Air bersih kadang ada yang ngantar dengan truk,” jelas Yani.
Beberapa juga ada yang mengambil air bersih di tempat yang lebih tinggi. Menunggu aliran air di dataran tinggi. Seperti yang dilakukan oleh warga RT 03, dan Sahlan sendiri. Listrik baru saja mulai menyala di beberapa RT. Sebagian memang masih menunggu.
Desa dengan dataran tinggi di HST telah merasakan banjir sesaat. Dampaknya belum sepenuhnya hilang. Sungai terus mengalir, waktu pun demikian. Akses jalan yang dulu terhambat mulai dapat dilewati. Perlahan langit di HST mulai cerah. Sedikit demi sedikit tanah Murakata mulai bangkit menyembuhkan dirinya. []
Penulis: Wahyu Aji Saputra
Redaktur: Ananda Perdana Anwar