BANJARBARU, Poros Kalimantan – Dua tahun belakangan, isu kesehatan mental menggema. Khususnya di beragam platform sosial media. Kesadaran akan pentingnya sehat mental mulai terbangun. Hal tersebut juga didasari banyaknya bukti keresahan sebagian orang. Di mana sosial media menjadi tempat menempatkannya. Di lain sisi, sosial media juga kerap menjadi penyebabnya.
Berdasarkan riset kesehatan dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan di 2018, angka prevalensi gangguan jiwa emosional di Indonesia 9,8 persen.
Padahal di 2013, berkisar 6 persen. Dalam data yang sama, prevalensi depresi mencapai angka 6,1 persen. Depresi menjadi satu gejala terganggunya kesehatan mental seseorang. Tak jarang akan berujung pada percobaan mengakhiri hidup sendiri.
Di dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa menyatakan bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi yang menunjukkan seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi di komunitasnya.
Penanganan secara tepat diperlukan untuk mempertahankan kesehatan mental. Menurut pakar dan dosen Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jehan Safitri menerangkan, kekhawatiran akan penilaian dari orang lain akan masalah mental menjadi penghalang seseorang untuk menceritakannya.
“Jadi banyak yang menghadapi persoalannya tidak dengan menyelesaikan secara tuntas, dan tanpa disadari dapat menjadi pemicu gangguan psikologis lain di masa depan,” terang Jehan.
Selain itu stigma yang melekat juga jadi tantangan. Bahwa dengan pergi ke psikolog ataupun psikiater adalah aib. Padahal hal tersebut adalah cara penting. Untuk meredakan masalah mental. Dan upaya pencegahan efek yang parah kedepannya.