Setelah menetaskan lagu Banjarmasin tahun lalu, Mondblume kembali merilis single teranyar dengan instrumen sederhana. Cocok sebagai balada orang-orang patah hati, dan ramah dimainkan di tongkrongan.
Penulis: Musa Bastara
Mondblume telah menetapkan 11 Januari 2023 sebagai tanggal rilis single terbarunya “I Wish You the Best”. Angka yang kalau disusun berderet, uniknya menciptakan urutan. Materi ini direkam secara live di kabin yang jauh dari hingar binger kota. Cara sama yang pernah diterapkan band folklor asal Amerika, Of Monster and the Sea untuk album studio mereka, My Head is Animal. Hasilnya adalah senyawa bernama kesederhanaan.
Lupakan Submarine, album musik Alex Turner yang mengisi soundtrack film dengan judul yang sama. Meski set lugas dan lirik impresionistik lagu ini sekonyong-konyong mendorong kita untuk mengingat album tersebut.
Perpaduan antara suara Rofie Sanjaya dengan tone akustik yang menenangkan membuat segalanya menjadi dingin sekaligus intim.
Bagi yang telah mengenal Mondblume, pastilah akrab dengan caranya mengemas setiap lagu. Berbeda-beda. Seolah ia berlayar pelabuhan ke pelabuhan lain tanpa keinginan tertambat ke salah satunya.
Single terbaru ini boleh jadi sebuah helaan napas. Mungkin bisa diterjemahkan sebagai upaya Rofie tidak terbatasi pencarian alter ego. Moto yang digenggam Rofie erat-erat sebagai kejujuran.
Set lugas dan liriknya impresionistik. Tidak ada yang istimewa memang. Tapi yang sederhana itulah sebuah keistimewaan tersendiri dari Mondblume.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang single anyar ini, Poros Kalimantan merangkum hasil wawancara bersama Rofie Sanjaya. Solo moniker berbasis di Banjarmasin ini memulai karir musiknya sejak tahun 2020. Sejauh ini ia telah menciptakan lima materi lagu;
Pertama, yang paling klise, tentang apa single teranyar I Wish You the Best ini?
Lagu ini intinya heartbreak song, deh. Lagu fase patah hati. Dari patah hati, mempertanyakan mengapa. Kemudian merelakan, dan mendoakan yang terbaik untuk yang pergi.
Bagaimana proses penggarapannya?
Lagu ini direkam secara live di kabin yang jauh dari bising kota. Bahkan pas mau nyampe di kabin, kami harus melalui jalan tanah yang hanya muat satu mobil. Tapi karena gak ada siapa pun, aman.
Meskipun hampir longsor dan jeblos, karena waktu itu kebetulan hujan. Kadang jalannya masih batu-batu gede. Jadi mobil sempat stuck.
Kalau rekamannya di ujung malam menuju pagi. Jadi, jendela pintu dibiarkan terbuka. Beberapa mic sengaja di set di beberapa sudut buat nangkap nuansa sekitar kabin. Jadi kalau didengerin, ada bunyi jangkrik, angin, cicak, pemantik api waktu bakar sigaret, itu emang asli.
Ini kayaknya jadi lagu paling sederhana dari Mondblume. Apa saja unsur yang dimasukkan?
Iya, paling sederhana.
Aku vocal, si Ary main gitar, dan feriza yang ngerekam. Eh, sama mic di kaki buat rekam bunyi ketukan kaki ke lantai kayu.
Kalau ada bunyi kresek-kresek, itu sengaja kaki dibungkus pakai plastik frozen food buat barbekyuan di sana. Biar ada bunyi ajaib yang gak bisa ditiru aja, hehe.
Apakah single ini masih digarap bersama The Roots? Apa yang akan terjadi jika tak ada The Roots?
Masih sama The Roots, cuma emang konsep dari awal mau akustikan.
Bukan soal ada atau tidak ada The Roots, tapi kalau pertanyaannya seperti itu, ada atau tidak ada, selama renjananya masih menyala, Mondblume bakal terus hidup dan jalan.
Tetapi perasaan terbaik tetap ada ketika bisa jalan bersama dengan kawan-kawan yang sudah seperti saudara atau keluarga.
Apakah lagu yang digarap paling santai dari pada materi sebelumnya?
Gak sesantai seperti yang terasa atau kelihatannya sih. Tetap ada chef yang keringetan kan di balik semua karya yang sudah dimasak dan disajikan.
Entah mengapa saya merasa lagu ini adalah pengejawantahan dari Mas Rofie yang sebenarnya. Maksudnya, Mas Rofie agaknya lebih menikmati bermain di ranah genre semacam ini. Betul kah?
Bisa jadi orang melihatnya seperti itu. Tapi justru aku sangat happy mainin musik dengan spectrum yang lebih luas, format lengkap, kalo bisa lebih banyak orang kayak orkestra. Aku punya mimpi seperti itu.
Mungkin karena terbiasa genjreng sendiri, jadi terlihat nyaman seperti itu.