“Seorang lelaki menyebut dirinya Jarwa. Ia adalah seorang Banjar yang lahir dan besar di tanah Jawa. Saya berjumpa dengannya di Pasar Beringharjo sewaktu menelusuri keberadaan urang Banjar di Yogyakarta.” (Hal. 11)
Kendati begitu, dalam buku ini, Arif berpendapat bahwa identitas kebanjaran tak hilang sama sekali. Tapi ia mengalami perubahan dan membentuk kontruksi identitas baru.
Lantas sebab itulah kemudian muncul identitas Jarwa: Banjar-Jawa.
Selain kajian etnografis, buku ini terkadang juga dapat diidentifikasi sebagai memoar. Ia bisa dibaca tanpa grasah-grusuh, seraya menikmati segelas teh hangat.
Untuk menciptakan tulisan ini, Arif mengamati kegiatan para pedagang keturunan Banjar; mendatangi rumah mereka, serta mengobrol dengan mereka. Ada dua lokasi pengamatan, Pasar Beringharjo dan Masjid Quwwatul Islam.
Selain itu, dalam buku setebal 225 halaman ini bakal didapati juga beragam kisah menarik urang Banjar di daerah migrasinya.
Seperti misalnya kisah pedagang kamasan (emas) di Pasar Beringharjo, suasana lebaran keluarga Abah Ramli, pernikahan Abah Syamsul dengan Ma Atun dan lainnya.
Dalam kata pengantarnya, budayawan Hairus Salim bahkan menulis: “Buku ini akan menjadi sumbangan penting untuk kajian ‘budaya merantau’ secara umum dan secara khusus untuk kajian ‘budaya madam’ yang sejauh ini masih terbatas.” []