Hadist sahih menyebutkan: “Semua sebab dan nasab akan terputus pada hari Kiamat kecuali sebabku dan nasabku, kata Nabi.”
Maka untuk menjaga mukjizat ini, buktinya harus ada. Buktinya apa? Data itu adalah paling utama. Di kalangan akademisi, data itu paling penting.
Dari data ini akan berkaitan dengan banyak hal. Maka dari itu upaya dalam penjagaan nasab inilah pentingnya Rabithah Alawiyah andil dalam banyak hal. Justru dengan adanya ini, sesuai dengan AD/RT yang diatur dalam organisasi agar kita tidak terpecah belah.“
Lantas bagaimana hukum bagi seseorang yang bukan habib/sayid mengaku habib, dan bagaimana yang benar-benar habib menyembunyikannya?
“Hal ini sudah jelas diperingatkan Nabi SAW. Diriwayatkan Imam Muslim: “Barangsiapa yang mengaku ayah kepada selain ayahnya, atau bersandar kepada yang bukan walinya, maka laknat Allah, juga para Malaikat dan semua manusia menimpa mereka, dan pada hari Kiamat, Allah tidak akan menerima dari mereka, baik yang fardhu maupun yang sunnah.”
Berdasarkan hadits itu juga, sudah jelas, maka yang bukan dari keturunan atau senasab dengan habib dan mengaku-ngaku, maka juga dilaknat oleh Rasulullah SAW.
Justru dengan tampaknya kita habib, kita malu. Sebutan habib kepada kita itu harusnya menjadi beban tanggungjawab, yang seringkali dijadikan contoh, baik secara akhlak mau pun sikap di masyarakat. Dan kembali lagi yang paling utama, yakni keilmuan.”
Di akhir penutup wawancara, Dr Al Habib Ustadz Segaf Baharun berpesan agar sesama habib saling muhibbin. Lebih bersatu, bukannya membawa bendera nasab masing-masing untuk saling menunjukkan keunggulan.
“Kita budidayakan soal nasab ini sebagaimana orang tua kita dahulu melaksanakan,” pesannya. []
Penulis dan editor: Ananda Perdana Anwar