Pengamatan penulis di sekitar ponpes ada beragam kegiatan yang dilakukan para santri. Santri laki-laki beberapa sibuk mencuci baju, menyapu ruangan hingga rebahan.
Sementara santri perempuan tak kalah sibuk. Sebagian berlatih maulid habsy, sebagian lainnya menjemur bantal dan belajar bersama di teras asrama.
Setiap santri yang menetap di asrama ini dikenakan infaq. Tak terlalu besar, yakni Rp50 ribu. Sedangkan santri pulang pergi sebesar Rp15 ribu.
*Berharap Air Minum Bersih*
Upaya mengembangkan fasilitas ponpes ini perlu berpeluh keringat. Untungnya dengan hasil swadaya sumbangan para dermawan, ponpes berhasil membangun dua bangunan tambahan: tempat belajar dan kamar mandi (sekaligus WC).
Tapi tantangan tetap ada, terutama dalam memenuhi kebutuhan air minum. Lantaran air di sekitar ponpes mengandung asam dan zat besi yang tinggi, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.
“Tercatat, untuk memenuhi keperluan air 1 tandon berisi 1.200 liter, harus membeli Rp120 ribu per tandonnya,”
Itu membuat Ustaz Zainal bersemangat berusaha memperoleh air bersih dari PDAM desa.
“Kami juga berharap bisa memiliki alat transportasi sendiri agar mengambil air dari sumber mata air di Desa Maluka Baulin,” ujarnya.
Di samping itu, kesan mendalam dari ponpes adalah suasana religius yang kental. Santri merayakan momentum 1 Muharrom dengan berdoa akhir tahun, pembacaan burdah, dan minum susu bersama.
Lalu setiap malam Jumat, rutin dilaksanakan pembacaan maulid Adhiyau’lami. Hal ini menambah kekhidmatan dan kesakralan di lingkungan ponpes.
Kisah perubahan dan kehidupan santri di Pondok Pesantren Rubath Riyadhus Sholihin adalah bukti nyata tentang bagaimana kesungguhan dan usaha dapat mengubah sebuah bangunan terbengkalai menjadi tempat yang bermakna dan bernilai bagi masyarakat.
Reporter : Tung
Editor : Musa Bastara