BANJARMASIN, Poros Kalimantan – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan dan sejumlah jaringan strategisnya sikapi pernyataan Pemerintah Republik Indonesia pada COP 26 dan cuitan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Twitter.
Direktur WALHI Kalsel Kisworo Dwi Cahyono menyayangkan pernyataan presiden Jokowi di forum tinggi tahunan 197 negara, Conference of the Parties (COP) di Glasgow, Skotlandia yang dimulai 31 November hingga 12 November tersebut.
Dalam forum yang membahas soal perubahan iklim itu Jokowi menyebut, di Indonesia telah terjadi penurunan deforestasi hutan dan kebakaran hutan dan lahan, yang menurut WALHI Kalsel bertolak belakang dengan data yang mereka miliki.
Hutan yang dulu kita banggakan sebagai paru-paru dunia kini semakin menipis, kebakaran hutan dan lahan diduga menjadi bagian erat ekspansi besar-besaran perusahaan sawit . Banyaknya lubang tambang tanpa reklamasi juga merusak dan mengubah bentang alam di Indonesia.
Kis berkata, seperti di Kalsel daratannya telah dikuasai dan dibebani perizinan industri ekstraktif. Deforestasi atau penggundulan hutan, kemudian alih fungsi kawasan hutan menjadi sumber terlepasnya karbon begitu cepat.
Beban perizinan industri ekstraktif dan perizinan lainnya sudah menyandera lebih dari 50 persen wilayah Kalsel dengan luas 3,7 juta hektar. Beban perizinan tersebut diantaranya 1,17 juta hektar atau 31,20 persen untuk tambang mineral dan batu bara, 207.477 hektar atau 5,55 persen konsesi perkebunan (sawit), 754.702 hektar atau 20,19 persen Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).
“Jika dikaitkan, bentuk perizinan yang serampangan inilah hulu dari perubahan iklim,” ujarnya pada Minggu, (5/11/2021)
Berdasarkan Temuan Walhi Kalsel, pada tahun 2019 Pemerintah Provinsi Kalsel diduga telah merekomendasikan pelepasan kawasan hutan atau tukar guling kawasan seluas 17.113,53 hektar untuk kepentingan korporasi perkebunan sawit di dua Kabupaten.
Praktik serampangan pelepasan kawasan hutan ini juga berpotensi memantik gesekan antara masyarakat tani hutan dengan perusahaan.
“Seperti yang kita ketahui bersama, pada bulan Oktober lalu tepatnya pada Kamis, (21/10). Jokowi meresmikan pabrik biofuel sawit swasta yang diduga sumber sawit yang diproduksi telah banyak memicu konflik agraria dan mengkriminalisasi jurnalis serta aktivis,” ujar kis