Dana insentif Daerah juga tidak bisa diandalkan, karena alokasinyapun tidak besar.
Kesimpulan sementara saya, memasang target Rp1.892 triliun dari dana transfer, terdapat risiko yang cukup besar untuk mencapainya.
Kemudian dari sisi pendapatan asli daerah, belum ada peningkatan pendapatan yang signifikan. karena masih berkutat pada sumber-sumber pendapatan yang ada.
Bahkan di tahun 2024 ada beberapa penerimaan daerah yang dihapuskan seperti uji kendaraan bermotor.
Memang jika ingin mendapatkan kenaikan PAD yang signifikan dan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat adalah melalui Ivestasi daerah. Apakah investasi permanen maupun non permanen. Juga maksimalisasi kinerja BUMD, dan maksimalisasi pemanfaatan aset daerah.
Untuk peningkatan pajak dan retribusi, di samping intensifikasi, ekstensifikasi, penyesuaian tarif bisa dilakukan, meski perlu sebuah kebijakan strategis.
Namun untuk tahun anggaran 2024, tampaknya langkah-langkah itu belum ditempuh secara maksimal. Sehingga sektor PAD belum akan ada kenaikan yang signifikan untuk menutup jika dana transfer tidak tercapai 100 persen.
Kedua Aspek Belanja. Mencermati Belanja APBD tahun 2024, betul betul spektakuler dengan anggaran sebesar Rp2.781.439.035.762 rupiah. Jika dibandingkan antara belanja dengan pendapatan maka terdapat defisit anggaran sebesar Rp674.867.959.624 rupiah.
Memang defisit tersebut kemudian ditutup dari silpa anggaran tahun sebelumnya. Artinya Silpa tahun 2023 habis untuk menutup defisit.
Pertanyaannya, bagaimana jika silpa itu tidak mencapai jumlah tersebut?
Yang Ketiga, Belanja meningkat drastis. Dari RKPD tahun 2024 sebesar Rp 2,08 Trilyun, KUA/PPAS sebesar Rp2,424 triliun, dan APBD mencapai Rp 2,781 trilyun. Berarti ada peningkatan sekitar Rp700 milyar atau sekitar 33% di luar RKPD sebagai hasil proses perencanaan Top Down maupun bottom up planing.
Oke lah ada tambahan pokir DPRD, program yang turun dari pemerintah yang lebih atas, tetapi tambahan kegiatan sebesar 33 persen menunjukkan betapa buruknya perencanaan.
Karena itu, pengendalian belanja benar-benar harus menjadi ekstra perhatian. Artinya perlu ada komitmen yang kuat dari top manajemen Pemkab untuk melakukan pengendalian belanja dengan terus mencermati perkembangan pendapatan.
Ketika pendapatan tidak menunjukkan tren positif, sewajarnya top manajemen Pemkab berani melakukan rasionalisasi kegiatan, dengan menunda kegiatan-kegiatan yang kurang bahkan tidak urgen.
Jika belanja ini tidak dimanajemeni dengan baik dan tanpa memperhatikan trend pendapatan maka dapat dipastikan akan terjadi gagal bayar, dan itu adalah sebuah bencana manajemen pemerintahan.
Hal ini tidak boleh terjadi, mengingat selama ini Tanah Laut selalu terjaga kesinambungan pembangunan dengan APBD yang sehat.
Jika gagal bayar terjadi, maka beban APBD tahun 2025 menjadi sangat berat. Padahal KONI Tanah Laut sudah memproklamirkan sebagai tuan rumah PORPROV ke 12 tahun 2025, yang sudah barang tentu memerlukan ketersediaan anggaran yang cukup.
Di satu sisi Bupati terpilih tentu ingin segera memenuhi janji-janji politiknya, dan itu juga perlu anggaran yang cukup.
Sebab itulah APBD Tanah Laut tahun 2024 perlu sebuah manajerial yang kuat. Sehingga betul-betul terkendali dan pembangunan berkesinambungan. Optimisme untuk bisa membangun lebih besar adalah sangat baik.
Ambisi untuk membangun kesejahtaraan rakyat dengan alokasi dana sebesar besarnya juga baik, tetapi juga harus diingat, perlunya dilakukan mitigasi resiko. Jangan sampai nafsu besar tenaga kurang, “Besar Pasak Dari Pada Tiang”.
Antara optimisme dengan mitigasi resiko harus berjalan seimbang. Kapan saat menginjak pedal gas, dan kapan harus menginjak rem harus pada saat yang tepat.
Semoga tulisan ini bisa menjadi bagian dari membangun Tanah Laut secara berkesinambungan. []