“Jadi bendungan dan irigasi hanya prasarana pertanian bukan hal pokok utama permasalahan ketahanan pangan Indonesia.
Hal ini akibat Pemerintah tidak serius menjalankan perintah UU No.5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), lalu UU No.41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) serta UU No.19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan).
“Hal ini dapat dilihat juga ke Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan yang memiliki Perda No.2 tahun 2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan akan tetapi tidak pernah dijalankan hingga saat ini,” lanjutnya.
Kajian itu dinilai sejalan dengan peryataan rektor IPB Arif Satria pada tanggal 17 Februari 2021 bahwa indikator pangan dunia menunjukan Indonesia tertinggal daripada negara lainnya dalam lima tahun terakhir.
Indonesia sebagai agraris ironisnya menempati peringkat rendah dalam indeks keberlanjutan pangan.
“Dulu kita tahu Ethiopia itu adalah negara yang identik dengan kelaparan. Ternyata punya ranking lebih bagus untuk food sustainability index dibanding kita. Zimbabwe dan Ethiopia jauh di atas Indonesia,” terangnya.
Food Sustainability Index menempatkan Indonesia sebagai negara ke-60 dari 113 Negara. Semakin besar angkanya, peringkat semakin buruk. Peringkat Indonesia kalah jauh dengan Zimbabwe peringkat 31 dan Ethiopia peringkat 27.
Sekedar informasi, Bendungan Tapin dibangun sejak 2015 lalu dan menghabiskan dana pembangunan sebesar Rp 986 miliar hampir 1 T. Bendungan memiliki kapasitas 56,7 juta meter kubik dan sebagai penyedia air baku 0,50 meter kubik per detik serta menghasilkan tenaga listrik 3,3 mega watt, Kemudian bisa memberikan pengairan untuk 5.472 hektare lahan pertanian. []
Penulis: Wahyu Aji Saputra
Redaktur: Ananda Perdana Anwar