Penulis: Eka Prasetya Aneba (Head Project Operation Nayaka Cyber Indonesia)
Opini adalah buah pemikiran dan tanggung jawab penulis, bukan media.
DIGITALISASI telah jadi tren global yang tak terhindarkan, termasuk di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan untuk mendorong transformasi digital, khususnya di instansi pemerintah. Ini jadi fokus utama dalam beberapa tahun terakhir.
Tapi, masih banyak tantangan yang dihadapi dalam proses digitalisasi itu, termasuk latah digitalisasi yang terjadi di beberapa instansi pemerintah.
Masyarakat harus mengunduh berbagai aplikasi, sehingga merasa dipersulit dalam berurusan. Padahal tujuan awal digitalisasi itu untuk memudahkan.
Hal itu diungkapkan Menteri PAN RB, Abdullah Azwar Anas pada acara peresmian bersama Mall Pelayanan Publik (MPP) dan Penguatan Komitmen Penerapan MPP Digital, di Jakarta pada tanggal 7 Maret 2024.
Digitalisasi yang pada awalnya adalah untuk efisiensi dengan tujuan menghemat waktu dan mengurangi penggunaan kertas, yang basis datanya akan dijadikan sumber mega data (big data) dengan satu klik nyatanya hingga hari ini banyak dari masyarakat umum bahkan aparatur negara yang masih gagap dalam menggunakannya.
Banyak fakta lapangan yang bisa kita jadikan contoh dalam menelaah upaya digitalisasi yang gagap. Salah satunya ialah mekanisme pendaftaran murid baru pada instansi pendidikan, pendaftaran yang dilakukan melalui daring sepenuhnya pada akhirnya tetap meminta data salinan berupa kertas.
Lalu data yang sudah di-|digitalisasi itu apa gunanya? Sistem yang kurang smart atau SDM-nya? Belum lagi keamanan data pribadi yang negara ini sangat abai terhadapnya.
Fenomena maraknya instansi pemerintah yang membuat aplikasi tanpa asesmen yang layak ini seolah menghadirkan tren baru, yaitu latah digitalisasi, semua serba terburu-buru dalam usaha penerapan teknologi digital, tanpa perencanaan yang matang atau pemahaman yang cukup.
Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah, mulai dari ketidaksesuaian teknologi dengan kebutuhan instansi, hingga kegagalan implementasi yang merugikan pelayanan publik dan berakhir menjadi sampah perangkat.
Digitalisasi di instansi pemerintah seringkali dianggap sebagai upaya untuk modernisasi dan efisiensi, namun kenyataannya terkadang tidak sesuai dengan harapan. Banyak aplikasi yang dibuat mungkin hanya sebatas pencitraan untuk menunjukkan bahwa instansi tersebut juga ikut serta dalam transformasi digital, namun dalam praktiknya fungsinya tidak maksimal.
Kritik terhadap aplikasi-aplikasi semacam ini muncul karena seringkali lebih terasa sebagai pembenaran untuk mengalokasikan anggaran teknologi informasi, tanpa adanya peningkatan signifikan dalam pelayanan atau efisiensi kerja.
Seiring waktu, banyak instansi pemerintah yang meluncurkan aplikasi serupa dengan fitur yang hampir sama, namun diberi nama berbeda, sehingga menciptakan tumpukan aplikasi yang sebenarnya tidak memberikan nilai tambah yang signifikan.
Akibatnya, upaya digitalisasi yang seharusnya memudahkan dan meningkatkan efisiensi pada akhirnya hanya berujung pada kekacauan dalam manajemen aplikasi, serta menjadi beban tambahan karena perlu pemeliharaan dan pengelolaan yang lebih efisien. Hal ini membuat digitalisasi yang seharusnya menjadi solusi malah menjadi masalah tersendiri.
Banyak tantangan yang sebenarnya bisa diminimalisir tetapi kurangnya kesadaran dan keterampilan menjadi sebuah momok yang menghancurkan, banyak pegawai pemerintah yang belum memiliki pemahaman yang cukup tentang teknologi digital, sehingga sulit bagi mereka untuk mengadopsi perubahan tersebut dengan efektif.
Belum lagi jika pemilihan teknologi tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas instansi pemerintah sehingga dapat menyebabkan implementasi yang tidak efisien.
Di satu sisi digitalisasi yang kebablasan juga menimbulkan dampak yang buruk terutama jika penggunaan teknologi digital di berbagai aspek kehidupan menjadi berlebihan atau tidak terkendali dalam kata lain terjadi kecanduan teknologi. Berikutnya yang juga berpengaruh adalah penurunan interaksi sosial dan tatap muka.