BANJARBARU, Poros Kalimantan – Berdasarkan riset kesehatan dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan di 2018, angka prevalensi gangguan jiwa emosional di Indonesia 9,8 persen.
Padahal di 2013, berkisar 6 persen. Dalam data yang sama, prevalensi depresi mencapai angka 6,1 persen. Dan hanya 9 persen diantaranya yang berobat atau mendapatkan penanganan.
Secara umumnya, masalah mental yang mencakup semua hal tersebut masih belum mendapatkan atensi yang cukup. Padahal, mental dan fisik adalah satu kesatuan untuk membentuk kondisi kesehatan.
Kesehatan mental yang terabaikan akan berdampak pada fisik. World Health Organization atau WHO mencatat hampir 800 ribu orang meninggal karena bunuh diri. Seringkali karena depresi. Sayangnya, banyak orang menganggapnya sepele.
“Kesehatan mental dianggapnya tak lebih penting dari sehat fisik karena dampaknya tidak secara visual langsung terlihat. Apalagi pengukurannya sangat subjektif,” jelas pakar dan dosen Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jehan Safitri.
Ia juga menjelaskan bahwasanya pandangan tiap orang akan masalah mental berbeda. Seseorang yang menderita permasalahan mental karena suatu pengalaman akan sulit menceritakannya. Apalagi jika si pendengar tidak merasakan hal yang sama.
“kekhawatiran akan penilaian dari orang lain akan masalah yang dihadapi juga menjadi sebuah ketakutan,” ungkapnya.