Berdasarkan publikasi “Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2020” yang diterbitkan oleh BPS Provinsi Kalimantan Selatan, maka APS 7-12 tahun Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2020 adalah sebesar 99,48 persen dan APS 13-15 adalah sebesar 93,04 persen. Dengan indikator APS tersebut didapat gambaran bahwa masih ada anak yang tidak bersekolah di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2020. Dari 1.000 anak berusia 7-12 tahun, ada sebanyak 5 orang yang tidak bersekolah pada jenjang pendidikan apapun yang memungkinkan untuk mereka tempuh, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Sedangkan pada 1.000 anak berusia 13-15 tahun ditemukan 70 anak yang tidak bersekolah pada jenjang pendidikan apapun.
Salah satu permasalahan yang menghambat cakupan anak yang bersekolah kemungkinan besar karena melakukan perkawinan pada saat masih berusia muda. Kawin di usia muda tentu saja berdampak tidak hanya pada putus sekolahnya, tetapi juga akan berdampak pada keberlanjutan perkawinan mereka. Pernikahan di usia muda rentan tidak berjalan dengan langgeng, karena untuk menikah perlu kesiapan fisik maupun psikis.
Indikator proporsi perempuan umur 20 – 24 tahun yang usia kawin pertama atau usia hidup bersama pertama sebelum umur 18 tahun dapat digunakan sebagai petunjuk telah terjadinya perkawinan usia muda (PHB<18). Dari situs resmi BPS di https://www.bps.go.id didapat informasi yang kurang menggembirakan tentang indikator ini di Kalimantan Selatan. PHB<18 tahun 2019 di Kalimantan Selatan sempat menduduki posisi provinsi pertama terbesar dengan angka sebesar 21,18 persen. Angka ini hampir dua kali lipat angka nasional yang sebesar 10,82 persen.
Kedua permasalahan di atas, yakni belum maksimalnya pembelajaran secara online dan belum terpenuhinya cakupan anak yang bersekolah tentu saja akan menghambat pemenuhan hak pendidikan anak. Langkah yang mungkin bisa ditempuh untuk mengurangi dampak pendidikan secara online adalah sesegera mungkin dilakukan vaksinasi yang bisa menjangkau seluruh anak. Harapannya agar pembelajaran tatap muka (PTM) dapat segera dilaksanakan. Kemudian kurang maksimalnya jam belajar siswa pas saat belajar online bisa digantikan dengan penambahan jam pelajaran ketika nantinya PTM dapat dilaksanakan. Harapannya agar dapat mengejar ketertinggalan selama penyerapan siswa selama pendidikan berlangsung secara online.
Kemudian langkah untuk meningkatkan cakupan anak yang bersekolah adalah dengan mencegah jangan sampai terjadi anak-anak yang melakukan perkawinan usia muda, dengan harapan tidak ada lagi anak-anak yang menjadi terpaksa putus sekolah. Pemecahan masalah perkawinan usia muda ini memang tentu saja tidak mudah. Ada permasalahan yang berkaitan dengan keyakinan, yaitu kemungkinan pemikiran bahwa daripada anak-anak terjerumus dalam pergaulan bebas maka mereka lebih baik dinikahkan saja meski masih usia muda. Oleh karena itu kerja sama dari semua pihak, baik pemerintah maupun non pemerintah seperti tokoh agama dan tokoh masyarakat. Perlu peran partisipasi dari tokoh tersebut untuk turut mengingatkan bahwa lebih baik menunda pernikahan sampai usia yang sudah siap, baik secara fisik maupun psikis (sudah mencapai 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan sesuai dengan Pasal 7 UU Nomor 16 Tahun 2019).
Kita semua pasti menyadari pentingnya pendidikan untuk anak, dan jangan sampai terputus di tengah jalan. Dengan terpenuhinya pendidikan anak untuk semua, tentu saja kita dapat berharap dapat tercipta kualitas sumber daya manusia yang andal pada masa depan kelak. Dalam pelaksanaannya jangan sampai muncul hambatan yang masih dapat kita cegah sedari awal. Jangan sampai pemikiran orang tua untuk memberikan kebahagian melalui pernikahan di usia muda, justru membuat hak pendidikan anak menjadi “tereliminasi”.