Oleh : Nuruddin Zain
BANJARMASIN, Poros Kalimantan – Beberapa waktu terakhir terlihat banyak anak yang berkeliaran di jalan raya atau pemberhentian lampu merah. Mereka mengais rejeki dengan berbagai cara. Ada yang mengamen dengan alat musik seadanya. Ada juga yang membersihkan kaca mobil ketika lampu menyala merah. Kemudia yang begitu marak belakangan ini adalah anak-anak yang berkostum badut. Semua kegiatan anak-anak tersebut menimbulkan pertanyaan. Mereka melakukan kegiatan mangais rejeki dengan seharian berada di jalan. Lalu bagaimana dengan pendidikan mereka.
Aktivitas anak-anak tersebut di jalan, tentu akan menggerus waktu di mana semestinya mereka berada di sekolah. Ketika mereka berada di jalanan, maka pemenuhan hak pendidikan anak menjadi tidak terpenuhi. Apalagi di kala badai pandemi Covid19 yang masih melanda negara kita tercinta hingga saat ini, maka pemenuhan hak pendidikan anak (hak setiap warga negara sesuai Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945) jangan sampai menjadi hal yang terabaikan.
Permasalahan dalam pemenuhan hak pendidikan anak tidak saja hanya terbatas pada cakupan anak yang sudah diberikan haknya untuk mendapatkan pendidikan. Di tengah pendemi ini permasalahannya bertambah lagi dengan kurang maksimalnya pendidikan berbasis online.
Informasi tentang kurang maksimalnya pendidikan secara online bisa didapatkan dari survei yang dilakukan oleh UNICEF. Mengutip dari laman unicef.org, UNICEF mengadakan survei pada periode 18-29 Mei 2020 dan periode 5-8 Juni 2020 lalu. Dari survei tersebut didapatkan hasil, yakni sebanyak 66 persen siswa dari berbagai jenjang pendidikan di 34 provinsi mengaku tidak nyaman dengan cara belajar dari rumah selama pandemi Covid19. Dari jumlah tersebut, 87 persen siswa ingin segera kembali belajar di sekolah. Survei juga memperoleh data, kendala utama selama belajar di rumah adalah kekurangan bimbingan dari guru. Hal ini dialami oleh 38 siswa yang jadi responden. Sementara 35 persen menyebutkan mengalami akses internet yang buruk. Jika pembelajaran jarak jauh berlanjut, maka 62 persen menyatakan memerlukan kuota internet.
Di sisi lain permasalahan cakupan anak yang terpaksa belum mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan juga masih terjadi. Kondisi ini dapat kita lihat pada indikator Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), melalui kegiatan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Definisi APS adalah proporsi penduduk pada kelompok umur jenjang pendidikan tertentu yang masih bersekolah (tanpa melihat jenjang pendidikan) terhadap penduduk pada kelompok umur tersebut (BPS Provinsi Kalimantan Selatan, 2020: 39). Dalam penyajiannya APS dibedakan pada kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun, serta 16-18 tahun. Konsep APS ini hanya membatasi mereka yang menempuh pendidikan formal dan informal seperti paket A/B/C.
Penelaahan dapat dipersempit pada APS pada rentang kelompok umur 7-12 tahun dan APS 13-15 tahun, apabila kita ingin melihat APS yang berkaitan dengan definisi anak sesuai konsep belum mencapai usia 18 tahun (dasar usia anak menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014).