“Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat Satkomhan, Satelit Komunikasi Pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada,” tutur Mahfud.
PT Avanti pun akhirnya menggugat Kemenhan ke London Court of International Arbitration karena belum membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
Pada 9 Juli 2019, pengadilan menjatuhkan putusan kepada negara harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling satelit sebesar Rp 515 miliar.
Gara-gara kalah di pengadilan dan didenda, akhirnya pemerintah harus menanggung kerugian.
“Jadi, negara membayar Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya,” kata Mahfud.
Selain PT Avanti, menurutnya, Kemenhan juga melakukan kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016.
Mahfud menyebut, Navayo telah menandatangani kontrak dengan Kemenhan, menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen certificate of performance. Meski begitu, kata Mahfud, tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemenhan dalam kurun waktu 2016-2017.
Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar 16 juta dolar AS ke Kemenhan. Namun, saat itu pemerintah menolak untuk membayar.
Sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura. Berdasarkan putusan pada 22 Mei 2021, Pengadilan Arbitrase Singapura memerintahkan Kemenhan untuk membayar 20,9 juta dolar AS atau sekitar Rp 296 miliar kepada Navayo.
Selain keharusan membayar kepada Navayo, menurut Mahfud, Kemenhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh beberapa perusahaan lainnya, yakni Airbus, Detente, Hogan Lovells, dan Telesat karena sudah menandatangani kontrak sewa. “Sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi,” pungkas Mahfud. []
Sumber: republika
Editor: Ananda Perdana Anwar