JAKARTA, Poros Kalimantan – Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transgmigrasi (Kemendes PDTT) telah menetapkan arah pembangunan desa hingga tahun 2030 mendatang, yang disebut dengan SDGs Desa.
Hal ini merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017, tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar mengungkapkan, SDGs Desa adalah pembangunan total atas desa.
Diakuinya, seluruh aspek pembangunan harus dirasakan manfaatnya oleh warga desa, tanpa ada yang terlewat (no one left behind), yang mengarah pada 18 tujuan pembangunan berkelanjutan.
Salah satu segmen dari SDGs Desa ini adalah Desa Ramah Perempuan.
“Ini jadi perhatian, karena Perempuan termasuk menentukan arah pembangunan bangsa,” ungkapnya dalam pernyataan pers virtual, Rabu (11/11) tadi.
Sejumlah data dan fakta disajikan Gus Menteri, seperti proporsi perempuan yang biasa menggunakan telepon genggam, cenderung lebih rendah daripada laki-laki.
“Artinya jaringan komunikasi dan peluang memperoleh pengetahuan secara mandiri bagi perempuan lebih rendah, daripada laki-laki,” ucapnya.
Meskipun cenderung meningkat terangnya, proporsi jabatan manager untuk perempuan cenderung jauh lebih rendah daripada laki-laki. Artinya, memang ada peningkatan posisi pekerjaan kelas menengah bagi perempuan. Namun proporsinya masih jauh lebih rendah daripada laki-laki. Ini menandakan belum terwujud kesetaraan gender, untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
“Belum ada kesetaraan di ruang publik ini, bisa dilihat kursi parlemen yang diduduki perempuan cenderung jauh lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan yang duduki kursi parlemen didaerah lebih tinggi dibanding di pusat. Ini artinya posisi perempuan dalam ruang publik dan penentuan arah pembangunan masyarakat masih rendah,” jelas Doktor Honoris Causa dari UNY ini.
Hal lain, kekerasan seksual yang dialami perempuan di kota lebih tinggi daripada di desa. Namun, kekerasan di desa cenderung pada pemerkosaan (seksual kontak), sementara di kota cenderung pada pelecehan (tanpa kontak seksual). Olehnya, dibutuhkan kebijakan represif bagi pelaku dan kebijakan rehabilitatif bagi korban (perempuan muda).