BANJARBARU, Poros Kalimantan – Akhir Agustus tadi, seorang petani di Tapin ditangkap. Ia kedapatan membuka lahan dengan cara dibakar.
Rencananya lahan itu ingin ditanami singkong. Tak ada maksud membakar. Tapi nahas, api meluas. Ia kesulitan memadamkan.
Kisah itu nyata. Karhutla yang kian meresahkan juga bukan produk rekaan. Artinya, ancaman pidana bagi pelaku pembakaran lahan itu tak main-main.
Lantas bagaimana dengan masyarakat adat yang karib dengan pembukaan lahan dengan cara dibakar?
Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), Kamis (7/9) lalu, berdiskusi perihal kepastian hukum bagi masyarakat adat dayak dalam membuka lahan untuk bertani.
Forum diskusi bertema “Perlindungan Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Lahan Pertanian Dengan Cara Membakar Berdasarkan Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional di Kalimantan Selatan” itu digelar di aula kantor Bappeda Kalsel.
Menurut mereka, larangan pembukaan lahan dengan dibakar itu belum jelas.
“Peraturan soal berladang ini sudah ada UU 32 Tahun 2009 pasal 69 ayat 2, di situ membolehkan. Perda provinsi Kalsel Nomer 1 tahun 2008 juga begitu (boleh),” ujar Ketua AMAN Kalsel, Roby.
Menurut Roby, SKPD terkait tak tahu terhadap perda tersebut. “Mungkin saja (mereka) tidak tahu, maka dari itu AMAN dalam diskusi ini bertujuan untuk saling berkoordinasi dan mengingatkan,” jelasnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalsel, Ariadi Noor menyampaikan, bahwa diskusi ini diharapkan mampu menumbuhkan solusi di tengah permasalahan yang dialami masyarakat adat ini.