Penulis: Musa Bastara
Saya punya dua orang kakek. Keduanya kakek dari pihak ayah saya. Pertama, kakek saya yang asli, tak pernah saya jumpai. Bahkan saya tak tahu persis bagaimana rupanya. Tak ada foto. Tak ada petunjuk apa pun yang membuat saya dapat membayangkan sosoknya secara akurat.
Ia mati jauh sebelum saya dilahirkan. Serangan jantung telah memotong nyawanya. Ia terlalu asyik menggarap sawahnya hingga tak menyadari maut berada sejengkal. Tubuhnya roboh dan ditemukan beberapa jam kemudian oleh seorang petani yang kebetulan melintas.
Bila saya menuntut penjelasan ayah tentang bagaimana rupanya, ia bakal menunjuk satu orang: seorang pria tua pendorong gerobak di kampung kami. Menurut ayah, ia punya wajah yang nyaris serupa dengan kakek meski bukan kerabat.
Hal itu tak membuat saya percaya. Hingga kakek dan kisah seputar dirinya, saya yakini sebagaimana mitos yang beredar mulut ke mulut. Tapi saya suka menerka-nerka. Tubuhnya pasti tak terlalu tinggi dan pendek dan kulitnya kecoklatan serupa kayu halaban, seperti kulit ayah.
Lewat kakek yang tak pernah saya temui itu, nenek saya melahirkan dua laki-laki. Salah satunya ayah saya. Beberapa tahun setelah kakek saya mati, nenek menikah lagi. Kala itu ayah saya masih bocah SD.
Lalu dengan kakek kedua, lahirlah bibi dan paman saya. Kakek saya yang kedua ini jadi satu-satunya tempat saya mengenal sosok seorang kakek (kakek dari pihak ibu juga mati jauh sebelum saya lahir).
Orang-orang memanggilnya Gabus. Kami hanya menambahkan kata kai (bahasa Banjar: kakek) di depan nama panggilannya itu. Saya tak tahu bagaimana asal usulnya. Atau apa hubungan kakek dengan ikan predator air tawar itu.
Yang saya ketahui, dulu di kampung kami, gelar-gelar semacam itu memang sering digunakan. Bahkan orang-orang tak merasa terganggu dengan panggilan yang bikin tergelak sekali pun.
Kakek punya hobi berburu. Ia suka memamerkan dua senapan angin miliknya. Salah satunya pernah digunakannya untuk menembak kuyang, namun sia-sia belaka.
Suatu kali, ia mengajak saya berburu dan saya ingat, dulu sekali, ada hutan paya tak jauh dari kampung kami. Burung-burung suka hinggap di pohon-pohonnya sebelum magrib.
Di hutan paya itu, kami menunggu dengan sabar. Setelah memastikan arah datangnya angin, kakek mengencangkan genggamannya pada senapan, membidik, meminta saya berhitung satu sampai tiga. Saya berhitung. Sebelum saya menyelesaikan hitungan, senapan sudah menyalak. Burung-burung kaget. Mereka terbang menghindari cabang-cabang.
Saya yakin, tembakannya meleset. Kakek saya menyuruh saya menunggu selagi ia memastikan, apakah mengenai satu ekor atau tidak. Mungkin tidak. Mungkin ia sudah tahu tembakannya tak bakal meleset. Ya, seekor burung pipit sebesar telapak tangan saya berhasil dibekuknya.