Tergusur sebab transportasi online. Tersingkir karena rencana BRT. Sopir angkot di Terminal Pasar Batuah serba salah. Mundur kena, maju kena.
MARTAPURA, Poros Kalimantan – Para sopir angkot di Terminal Pasar Batuah bertambah gelisah. Sudah digeser transportasi online, ditambah rencana BRT hingga Martapura. Profesi mereka semakin terancam.
Kalau tak ada penumpang sama sekali, bagaimana? Pertanyaan itu muncul di kepala Salman. Sudah 25 tahun bekerja sebagai sopir angkot, barang tentu ia akrab dengan bau jalanan.
Tak heran, jalanan menjadi ladangnya mencari penghidupan sekaligus harapan. Tapi harapan, bagaimanapun bentuknya, perlahan-lahan runtuh. Bukan karena mustajab. Karena peminat angkot sendiri sudah berkurang.
Sehari saja, satu-dua penumpang sudah syukur. Jika bicara pendapatan, ya paling banter kurang dari Rp50 ribu. Rp60 ribu kalau lagi ramai. Semuanya belum dihitung modal bensin.
“Bukannya tidak bersyukur, namun itu faktanya,” keluh Salman.
Itu Salman. Bagaimana sopir angkot yang lain? “Bahkan ada yang tak ada pemasukan sama sekali dalam sehari,” tambahnya.
Salman kadang juga bisa apes. Dari pagi sampai siang tak ada penumpang. Jika begitu, ia berdoa agar ada secuil harapan kecil. Ya harapan sekecil apapun amat berarti bagi Salman. Bagi hidupnya.
Anang Gayung bernasib mirip Salman. Bahkan lebih parah. Untuk bertahan hidup, di saat terdesak, ia terpaksa mengaktifkan mode terakhir para sopir angkot: yakni menjual bagian-bagian mobil. Dari mulai ban, besi sampai kerangka mesin.
Cara ini mangkus. Uang didapat. Tapi siapapun tahu, jika sudah menjual organ-organ penting dari mobil, sama dengan menjual mobilnya.
“Seperti temanku Ahmad. Setelah jual semua bagian angkot, ia merangkai motor bentor. Modalnya njot-njotan,” tutur Anang Gayung, sembari mengusap jidatnya dengan handuk kecil yang tersampir di bahu. Biasa, khas sopir angkot.
Kadang organ mobil dapat seperti organ tubuh sendiri. Mobil itu tempat ia mengisi perut, menjaga jantungnya tetap berdetak, dan paru-parunya bernapas.
Di samping itu, terkadang mereka kesal melihat ojol (ojek online) yang mengantarkan penumpang. Rasa iri, tentu ada. Tapi bagaimana lagi? Rezeki sudah ada yang ngatur.
“Kami tak ada pekerjaan lagi selain menjadi sopir angkot ini. Mau bikin usaha dari nol, tak ada modal. Uang sehari-hari cuma asal bisa bikin asap ngepul dan beli bensin.” Anang Gayung tertunduk lesu.
Lantas bagaimana menyoal perencanaan trayek Organda pelayanan BRT/BTS hingga Martapura? Tentu, sopir angkot semakin tercekik. Mereka kecewa.
“Kami tahu itu bus dari bulan lalu. Jika begini, pemerintah artinya tidak berpihak kepada kami. Padahal mereka tahu, kami sudah sepi penumpang. Kenapa harus ada kebijakan seperti ini? Mau makan apa kami?”
“Jurusan Martapura ke Landasan Ulin sudah mati. Tidak ada penumpang lagi yang dibawa ke arah sana. Sebab setiap penumpang, setiap halte, diambil bus,” tandas Anang Gayung
Ini bukan cerita soal manusia bernama Salman dan Anang Gayung. Ini cerita seluruh sopir angkot di Martapura. Salman dan Anang Gayung hanya memberi suara bagi kesedihan ini.
Para sopir angkot ini mengaku, dibanding mengangkut penumpang, jasa mereka lebih diperlukan mengangkut barang. Bahkan itu sepekan, hanya satu kali.
Jika di hari-hari baik, sopir angkot mendapat carteran. Biasanya dari rombongan pengajian, haul, atau anak sekolah. Tapi sebagian besar anak sekolah pun kini sudah punya motor sendiri.