BANJARBARU, Poros Kalimantan – Berdasarkan rilis dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) pada tanggal 22 Januari 2021 yang telah dimuat beberapa media, estimasi dampak kerugian bencana banjir Kalimantan Selatan sebesar Rp 1,349 triliun.
Kerugian terdiri darisektor pendidikan sekitar Rp 30,446 miliar, sektor kesehatan dan perlindungan sosial sekitar Rp 46,533 miliar, sektor produktivitas masyarakat sekitar Rp 604,562 miliar dan sektor pertanian sekitar Rp 216,266 miliar.
Data perhitungan untuk sektor pertanian antara lain adalah data luas area yang tergenang berdasarkan citra spasial dan data penggunaan lahan berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI).
Lalu data umur padi dari Kerangka Sample Area (KSA) Badan Pusat Statistik serta data-data yang tertuang dalam peraturan daerah.
Sektor pertanian perhitungan dilakukan untuk mengetahui perkiraan nilai kerugian “gagal panen” akibat lahan sawah yang tergenang, selain itu perhitungan juga untuk mengetahui kerugian petani akibat “hilangnya ikan” yang sedang dibudidaya di empang, kolam dan tambak.
Menanggapi rilis BPPT tersebut, maka dari Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia (SPI) Kalsel menganggap kerugian petani bukan hanya dari produk pertaniannya saja.
“tetapi harus dihitung juga kerusakan peralatan dan lahan pertanian seperti; traktor, galangan sawah yang jebol dan rata sama tanah akibat diterjang arus air,” jelas Ketua DPW SPI Kalsel Dwi Putra Kurniawan dalam rilisnya, Minggu, (31/01/2021).
Ia juga menambahkan faktor kerugian lainnya, seperti sisa lumpur dan sampah-sampah plastik yang mencemari lahan pertanian, lalu kerugian petani keramba, kolam dan jala apung yang juga rusak atau hanyut dibawa arus banjir. Jadi menurutnya angka perkiraan kerugian sebesar Rp 216,266 miliar bisa lebih besar lagi.
Sektor pertanian pangan ini sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakat Kalsel baik disaat bencana maupun pasca bencana.
Karena itu DPW SPI Kalsel meminta Pemerintah memasukkan ganti rugi dan perbaikan/rehabilitasi lahan pertanian jadi prioritas utama, sesuai dengan UU No.41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan UU No.19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.