PELAIHARI, Poros Kalimantan – Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional diperingati setiap 30 Agustus. Peringatan ini dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tujuan peringatan ini sebagai seruan untuk melawan penculikan paksa secara brutal yang merampas Hak Asasi Manusia (HAM) dan merendahkan hakikat kemanusiaan.
Peringatan ini ditetapkan sejak 2011 silam. Jauh sebelum penetapannya, sudah ada banyak kasus penghilangan paksa yang seringkali diarahkan pada para aktivis maupun tokoh yang lantang bersuara melawan pemerintah. Terutama di zaman Orde Baru.
Salah satu contoh tahun 1997 sampai 1998. Dilansir dari KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), tahun itu penculikan dan penghilangan orang secara paksa ramai terjadi.
Momentumnya bertepatan dengan Pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres) periode 1998-2003.
Kasus penculikan dan penghilangan paksa terjadi pada aktivis, generasi muda, dan mahasiswa yang ingin membela keadilan dan demokrasi pada masa pemerintahan Orde Baru.
Terdapat 9 korban yang berhasil kembali dari penculikan, sedangkan 13 korban lainnya masih dinyatakan hilang dan belum dikembalikan hingga detik ini.
Jika mundur beberapa tahun sebelumnya, ada kasus Talangsari di tahun 1989. Kekerasan yang terjadi dalam konteks peristiwa Talangsari merupakan tindakan berlebihan yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto.