BANJARBARU, Poros Kalimantan – Masyarakat Kalimantan Selatan memiliki seni bela diri unik tersendiri. Mereka menyebutnya “Kuntau” atau “Bakuntau”. Dalam budaya Banjar, seni bela diri Kuntau telah lama hadir. Sebagian menyebutkan muncul ketika zaman kolonial. Sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap penjajah.
Puluhan tahun selepas kemerdekaan, banyak bela diri kini menjadi sebuah keseniaan. Terlepas tujuaanya untuk mempertahankan diri, gerakan Kuntau juga sarat akan makna ketika melebur menjadi keseniaan. Perguruan Kuntau Rajapati di Banjarbaru adalah salah satu tempat yang terus melahirkan para pendekar Kuntau.
Letaknya hampir tak jauh dari Pondok Pesantren Darul Hijrah. Berbatasan dengan wilayah Martapura, Kabupaten Banjar. Di ujung Kota Banjarbaru sanalah, keseniaan Kuntau terus berkembangan di tengah melesatnya pembangunan perkotaan.
“Didirikan sekitar tahun 1999 oleh Guru Besar kami. Kami menyebutnya dengan “Abah” M. Saleh,” jelas Guru Taufik Rahman, yang sejak 2014 mengurus keberlangsungan perguruan.
Taufik menjelaskan, Kuntau tak hanya sebagai bela diri. Kuntau menghadirkan pula nilai-nilai keislaman. Bahkan dimulai dari langkah awal dalam memperlajarinya. Ia menceritakan bagaimana tiap tahunnya diadakan “selamatan” untuk menyambut para murid baru.
“Satu angkatan dalam satu tahun. Juga ada “betamat” jika telah selesai masa belajar kurang lebih satu tahun tadi”, ungkapnya.
Dalam satu angkatan, Perguruan Kuntau Rajapati membatasi hingga 10-15 murid. Agar ilmu yang dibagikan dapat diserap secara baik. Karena menurut Taufik, terlalu banyak yang diajar dalam satu tempat tidaklah juga efektif. Dan dengan minimal 6 orang, pembelajaran Kuntau sudah bisa dilaksanakan.
Gerakan dalam Kuntau memiliki istilah tersendiri. Ada yang dinamakan Panikaman, Palangkahan, Palapasan dan Kakambangan. Kakambangan inilah yang memadukan gerakan bela diri dengan estetika kesenian.
Aksesoris yang dikenakan juga adat Banjar. Adanya lawung pada kepala, kemudian sabuk hingga kelengkapan senjata seperti mandau.
Anggapan bahwa seni daerah kadang tergerus dan ditinggalkan seiring modernnya zaman, ternyata tidak berlaku bagi kesenian Kuntau. Taufik menceritakan, bahkan sekarang jauh lebih banyak peminatnya.