Xaverius Januardy (49), pria asal Padang yang hijrah ke Kalimantan Selatan, dan membagikan ilmunya bermain barongsai pada siapa pun. Tak mengenal dari mana asalmu, apa warna kulitmu.
BANJARBARU, Poros Kalimantan – Pertunjukkan barongsai identik dengan perayaan Tahun Baru Cina (Imlek).
Barongsai acapkali dimainkan dua orang. Caranya tidak mudah. Perlu kerja sama yang solid antar pemain agar menjaga ritme dan keserasian. Tanpa latihan yang keras, salah-salah jadi berantakan. Kemungkinan terburuknya, cedera.
Tetapi yang kurang menjadi sorotan adalah siapa? Pernahkah kamu bertanya-tanya siapa orang di balik keajaiban kecil demikian? Untuk menjawabnya, karena itulah kisah ini kami tuturkan.
Xaverius Januardy, 49 tahun, telah tertarik bermain barongsai sekitar tahun 1995. Tepatnya, saat dirinya mengenyam pendidikan perkuliahan.
Pria kelahiran Padang ini sehari-harinya menjalani usaha kelontong dan jasa cuci pakaian (laundry) di kediamannya. Beberapa tahun silam, ia pernah bekerja di suatu perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Tengah.
Bermula dari keahlian bela diri yang ia pelajari, ia mencoba menjajal menjadi pemain barongsai. Ternyata sreg. Lion Dance HBT Padang menjadi klub pertamanya bermain.
“Saya mulai main barongsai di tahun 1995 di Lion Dance HBT, Padang,” ucap pria yang akrab disapa Jo atau Yu ini pada penulis.
Dua tahun berlalu. Dirasa sudah cukup mahir, ia meningkatkan diri menjadi pelatih barongsai.
Hingga kemudian di tahun 2001, hijrah ke Kalimantan Selatan dan menjadi pelatih di Lion Dance Duta Prabha Banjarmasin hingga 2004.
“Sempat vakum karena kerja. Bolak-balik kebun,” ungkapnya.
Setelah sekian lama vakum, baru di tahun 2021 Jo kembali dipanggil menjadi pelatih di Lion Dance PHKS Banjarbaru.
Jo sebetulnya belum ada rencana untuk kembali melatih. Namun, entah bagaimana, ia akhirnya terbujuk jua.
Berkat tangan ajaib Jo, Lion Dance PHKS Banjarbaru kemudian berhasil tampil pada Parade Senja di Bulan Desember tahun lalu.
Meski bertahun-tahun telah melakoni kesenian ini, menjelang pertunjukkan tersebut Jo sebagai pelatih mengaku gugup. Sebab yang menonton di pagelaran itu bukan cuma warga biasa. Tetapi juga wali kota.
“Sebelumnya gugup, anak-anak juga gugup. Tapi salah-salah sedikit juga gapapa lah,” ujarnya.
Kini ia menetap jadi warga Tambak Langsat, Kelurahan Landasan Utara, Banjarbaru.
Ia mengaku, selama melatih barongsai banyak suka dan duka yang dilalui. Ia mesti sabar melatih bocah-bocah yang bebal dan cenderung keras kepala.
Selain itu, Jo juga merasa yang sulit dari barongsai bukan latihannya. Tetapi bagaimana pemain dapat membuat barongsai terkesan hidup. Seolah kamu benar-benar menyaksikan sebuah keajaiban kecil; seekor naga lincah yang menari-nari.
Sekarang ini barongsai menurut dia bukan lagi soal budaya. Ia juga soal ketangkasan, kerja keras, dan niat. Kalimat yang saking akrabnya menjadi barongsai sendiri sebagai olahraga.
Dia menekankan, semua etnis yang ada boleh menjadi pemain barongsai. Tidak mengenal dari mana asalmu, apa warna kulitmu.
“Siapapun yang mau main barongsai, silahkan. Menurut saya, saat ini barongsai sudah multietnis,” tandasnya.
Penulis : Putri Nadya Oktariana
Editor : Musa Bastara