Penulis: Basuki Rahmat
PELAIHARI, Poros Kalimantan – Napas masih terasa memburu saat penulis (selanjutnya “saya”) tiba di Desa Sungai Bakar, Kecamatan Bajuin, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
Rasa ingin tahu nyaris sama besarnya dengan rasa letih. Pasalnya di lokasi itu, katanya, ada dua bunker eks markas tentara Jepang di zaman kolonial.
Bunker biasanya berfungsi sebagai pos pengawasan dilengkapi persenjataan. Serupa pos satpam, jika mengacu saat ini. Saya penasaran.
Untuk bisa tiba ke sana, saya harus membelah semak belukar tebal dengan parang. Di situasi semacam ini, hewan berbisa selalu jadi marabahaya mengintai.
Di samping itu, kondisi jalan yang miring hampir 45 derajat membuat langkah saya berada di dua sisi: tegang dan seru. Kewaspadaan saya terangkat ke titik paling tinggi.
Belum lagi saya harus menyeberangi sungai. Pada musim penghujan, arus sungai di situ lumayan deras. Untungnya saat itu musim kemarau, sehingga airnya tak begitu dalam.
Rasa letih itu sekejap sirna saat mata saya menyapu dua bunker yang berdiri sepuh dan kokoh. Lokasinya di lereng Gunung Bajuin.
Tetapi seketika saya sadar, pakaian saya basah sekali. Padahal saya tahu hujan tak turun. Bahkan langu tubuh saya terasa seasin garam laut.
Dua Bunker Peninggalan Kolonial Jepang
Penuturan warga setempat, bunker itu dulunya menampung 5 hingga 6 tentara Jepang. Mereka mengawasi para pribumi yang bekerja paksa di tambang batu besi tak jauh dari sana.
Ceritanya, para pribumi itu dituntut bekerja keras dengan bayaran tak setimpal. Bahkan ada cuma diberi jatah makan. Jika ada yang kedapatan tak bekerja, meski alasannya sakit, tentara Jepang itu tak segan-segan menembaknya.