Penulis: Salim A Vad’aq
“Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan.Speakerdi musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu,”
Potongan kutipan dari tanggapan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas ketika ditanya mengenai surat edaran (SE) Kemenag terkait pengaturan suara azan rupanya lebih viral diterima masyarakat daripada muatan dari kebijakannya (beleidsregel). Narasi yang berkembang di permukaan masyarakat yang kadang justru liar tanpa landasan berpikir mengemuka bahwa SE ini hadir sebagai indikasi “Islamophobia” ditengah kementerian agama.
Penulis khawatir, justru demikian akan mengaburkan esensi dari SE ini yang seharusnya dimaknai sebagai upaya Kementerian Agama yang ingin menghadirkan nafas moderasi beragama. Penulis juga mengkhawatirkan isu ini rentan dipolitisasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Islam, sebagai agama yang mayoritas dianut masyarakat Indonesia tentu memberi corak dalam adat dan nadi budaya masyarakat. Azan, sebagai metode memanggil masyarakat untuk menunaikan ibadah kepada sang Khalik menjadi akrab ditelinga rakyat, bahkan non muslim sekalipun.
Menarik ditelisik, reformasi panggilan ibadah ke masjid terus berkembang dari masa ke masa terutama bagi muslim Nusantara. Bedug sebagai instrumen pemanggil umat budha untuk beribadah di Vihara, kemudian dapat diterima oleh muslim nusantara sebagai panggilan kepada ummat untuk beribadah di masjid sebelum azan berkumandang.
Sedangkan untuk pengeras suara, Kees van Dijk mengutip dari tulisan Oleg Grabbar bahwa penggunaan pengeras suara di masjid dimulai sekitar perempat abad 20 dan semenjak saat itu pengeras suara mendapat hati bagi kaum religius muslim utamanya bagi takmir Masjid.
Sejarah singkat ini menarik karena menggambarkan betapa masyarakat kita dapat menerima produk “non muslim” untuk dikawinkan dengan seperangkat ritual ibadah yang lalu menjadi budaya Islam khas Nusantara.
Secara filosofis, kita dapat memahami ada semangat masyarakat untuk beramar makruf, mengajak sesama mendekat kepada Tuhan. Taufik Pasiak dalam buku “Born to Believe” memberi sebuah pengantar bahwa manusia hakikatnya selalu memiliki motivasi berbuat baik.
Dean Hammer membuktikan melalui serangkaian uji coba kepribadian bahwa setiap manusia memiliki genetik transendensi yang senantiasa mengarahkan kearah positif dan sekuat mungkin menjauhi hal negatif, minimal dengan pengingkaran hal mungkar secara naluri sekalipun bagi pelaku kriminal dan amoral. Berangkat dari fakta ini, kita dapat memahami bahwa setiap orang berusaha untuk menjadi religus sesuai yang diyakininya dan memiliki motif untuk mengajak sesama menuju kesadaran transenden.
Sayangnya, pengalaman subjektif mengenai kesadaran transeden tentu akan berbeda baik secara individu (persoon) maupun kolektif. Kolektif masyarakat pun terbagi menjadi 2 kelompok yaitu gemeinschaft (paguyuban) dan gesselschaft (patembayan).
Kesadaran transenden dipengaruhi menurut Andrew Newberg dan Mark Waldman 4 faktor yang saling terkait yaitu persepsi, kognisi, konsensus sosial, dan nilai emosional.
Penulis menangkap semangat filosofis, sosiologis, dan yuridis yang ingin dimunculkan Kementerian Agama melalui Surat Edaran tahun 2022 untuk mengisi kekosongan Surat Edaran Kemenag tahun 1978 saat ini perlu didukung dan diapresiasi.
Sangat disayangkan, banyak masyarakat yang “gagal paham” terkait surat edaran Kemenag atau bahkan justru ada yang belum membaca. Hal sekunder berupa terplesetnya Menteri Agama dalam menyosialisasikan menjadi fokus opini publik berujung saling lapor, namun lupa dan jauh dari core and essence (inti dan esensi) dari produk kebijakan yaitu untuk memperbaiki etika dan estetika syiar Islam yang sering terabaikan semisal minimnya kaderisasi muazin bersuara indah, pengaturan suara pada penggunaan pengeras suara secara tidak baik, waktu penggunaannya yang kurang bijaksana, dan lain sebagainya.
Penulis juga menilai bahwa kejadian seperti ini bukan sekali dua kali, namun berulangkali. Penulis berpendapat hal ini mengindikasikan 2 hal yaitu : 1.) minim dan kurangnya daya literasi masyarakat berupa memahami serta menguji keabsahan informasi ditengah konvergensi media yang rawan akan sebaran hoax, serta 2.) kurang mahirnya strategi dan gaya komunikasi publik oleh pemerintah dalam menyosialisasikan kebijakan dan produk hukum.