Bahkan, Bottom Ash masuk dalam kategori limbah dengan tingkat bahaya tertinggi dengan skor 13 (dari skala 14). Sedangkan Fly Ash memiliki skor 11 (dari skala 14).
Ketika FABA berstatus sebagai limbah B3 pun, banyak studi kasus yang menunjukkan perizinan belum berhasil memastikan perlindungan atas risiko.
Para penghasil abu mau pun pihak ketiga yang mengelola abu belum betul-betul mengelola risiko dan memenuhi persyaratan teknis yang layak sebagaimana diatur dalam regulasi.
Bahkan beberapa kasus menunjukkan pemilik izin melakukan pembuangan abu illegal tanpa pengelolaan di sungai, rawa, tanah kosong dekat rumah penduduk, mau pun memberikan secara cuma-cuma kepada penduduk sebagai material urug.
Kasus PT Indominco, Kalimantan Timur misalkan. Perusahaan ini sudah divonis bersalah karena pengelolaan buruk FABA, ternyata di lapangan tidak terjadi pemulihan.
Meski disanksi, nai denda sangat kecil dan tidak membuat jera.
“Begitu juga warga di dekat PLTU Mpanau, Sulawesi Tengah. Warga yang sakit dan mengadu ke pemerintah justru diminta untuk membuktikan sendiri keterkaitannya penyakit yang diderita dengan dampak FABA operasi PLTU.
Jadi perlindungan warga dari limbah FABA itu omong kosong. Apalagi sekarang ketika FABA bukan lagi beracun dan berbahaya. Dari kasus demikian, kebijakan ini akan membuat pebisnis batu bara semakin ugal-ugalan membuang limbah dan terbebas dari hukum,” kata anggota Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah.
Di Indonesia, studi mengenai pencemaran lingkungan akibat FABA mau pun dampak kesehatannya masih sangat terbatas. Informasi hasil pengujian air tanah tidak tersedia untuk diakses publik, sekalipun disyaratkan dalam pengelolaan limbah B3. Sementara, kegiatan berizin yang bertahun-tahun dianggap taat pun belum tentu benar.
Seringnya, inspeksi serius dilakukan setelah keresahan masyarakat kian merebak, atau jika ada pengaduan masyarakat. Jika pun sanksi dijatuhkan, tidak selalu menjamin masyarakat terbebas dari pelanggaran berulang.
Eksekutif Walhi Nasional Khalisah Khalid memaparkan, hukum untuk penjahat lingkungan dan pengawasannya masihlah sangat lemah di Indonesia.
“Jangankan bicara soal informasi bagaimana limbah beracun ini dikelola, dokumen penting seperti AMDAL dan Izin Lingkungan saja susah diperoleh meski harus melewati mekanisme pengadilan.
Padahal pada dokumen inilah terdapat data dan informasi bagaimana proyeksi dampak operasi perusahaan bisa dilihat, diteliti dan diawasi publik secara terbuka,” katanya.
Apabila pemerintah memiliki orientasi dan keinginan yang kuat pada upaya pembangunan yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan hidup, mencegah bencana lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat, pemerintah harus tetap mengatur FABA batu bara sebagai jenis limbah B3.
Ia melanjutkan, penghapusan aturan yang terjadi saat ini dengan dalih mendorong pemanfaatan hanya akan berakhir sebagai langkah ekonomi yang berisiko tinggi.
“Bersihkan Indonesia mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut kebijakan yang menghapus FABA sebagai Limbah B3.
Bersihkan Indonesia juga mendesak pemerintah untuk segera beralih ke energi terbarukan. Transisi energi harus dilakukan secara serius dan dimulai dengan kebijakan phase out batubara, bukan justru terus memfasilitasi industri energi batu bara yang kotor, rakus dan serakah,” tegas Ali Akbar. []
Penulis: Wahyu Aji Saputra/Rilis Bersihkan Indonesia
Redaktur: Ananda Perdana Anwar