BANJARBARU, Poros Kalimantan – Wiji Thukul. Pada masanya, nama itu, jika diucapkan dalam satu helaan napas, mampu membikin bergidik pemerintah.
Ia bukan hantu. Pun bukan mitos. Ya, meski sosoknya saat ini sudah tiada; tak tahu di mana, semangatnya tetap mendengung dalam suara-suara aktivis.
Puisi-puisinya seringkali tumbuh di dinding-dinding liar jalanan. Bagai mantra. Siapa gerangan orang ini? Apakah ia semacam penyihir, atau seorang ksatria?
Ia cuma orang biasa. Orang-orang mengenalnya sebagai salah satu aktivis Indonesia di era Orde Baru (Orba).
Tak hanya seorang aktivis, Wiji juga adalah seorang penyair perjuangan. Ia menghilang pada 27 Juli 1998 saat Tanah Air penuh dengan pergolakan politik.
Hidup di Kalangan Marjinal
Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 di Solo, Jawa Tengah. Nama aslinya adalah Widji Widodo.
Nama Thukul diberikan Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh oleh penyair WS Rendra.
Wiji dan Thukul merupakan bahasa Jawa, yang masing-masing berarti biji dan tumbuh. Sehingga, Wiji Thukul bermakna biji yang tumbuh.
Ayahnya adalah seorang penarik becak, ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga.
Wiji Thukul sempat melanjutkan pendidikan di Jurusan Tari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia pada 1979 meski tidak tamat.
Ia memilih berhenti sekolah untuk bekerja agar adik-adiknya bisa melanjutkan studi.
Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan istrinya Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh.
Tak lama semenjak pernikahannya, Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah.
Fajar Merah, anak bungsunya itu kelak dikenal sebagai musisi yang kerap menyanyikan sajak-sajak ayahnya.
Pada 1994, buku kumpulan puisinya berjudul ‘Mencari Tanah Lapang’ terbit dengan kata pengantar dari sosiolog dan mantan aktivis 66 Arief Budiman.
Sebagai buruh, Wiji Thukul bukan hanya bekerja. Ia juga berjuang demi kesejahteraan rekan-rekannya sesama kelas pekerja.
Hal itu pula yang akhirnya membikin puisi-puisinya penuh satir. Utamanya mengkritik rezim penguasa yang membungkam dan membuat rakyat menderita.