BANJARBARU, Poros Kalimantan – Peraih Nobel sastra Jepang kedua, Kenzaburo Oe, meninggal pada 3 Maret tadi di usia 88 tahun.
Shigehiko Hasumi, seorang kritikus kenamaan di Jepang mengaku sedih mendengar kabar ini. “Kematian Oe merupakan kerugian tidak hanya bagi sastra Jepang tetapi juga bagi sastra dunia.”
Sementara itu, penyair Shuntaro Tanikawa yang berusia tiga tahun lebih tua dari Oe mengatakan: “Dia adalah seorang penulis soliter yang terhubung dengan masyarakat dan orang-orang melalui banyak karyanya.”
Oe sendiri mencetak Penghargaan Akutagawa di tahun 1958 pada usia 23 tahun. Hal itu menjadi pintu masuk yang cemerlang baginya ke kancah sastra.
Beberapa novel Kenzaburo Oe berhubungan dengan pasca Perang Dunia II dan pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Oe adalah seorang pasifis yang berkomitmen dan telah terlibat dalam kampanye melawan senjata nuklir dan tenaga nuklir.
Untuk mengenang kematian Oe, Poros Kalimantan merangkum 3 rekomendasi warisannya yang perlu dibaca:
1. Jeritan Lirih
Jeritan Lirih, dengan judul asli Man’en Gannen no Futtoboru, pertama kali terbit pada tahun 1967. Buku ini menyabet Penghargaan Tanizaki di tahun yang sama.
Ceritanya berfokus pada dua bersaudara yang penuh dengan gejolak psikologis, dengan rentetan kejadian yang menimpa mereka, hingga akhirnya mengarah pada dua kesimpulan.