Oleh : Ananda Perdana Anwar
Entah apa yang merasuki, para penjabat dan tokoh politik yang kita sayangi dan hormati bersama. Pasca ditinggal walikota yang telah wafat di puncak kariernya, masih dalam jabatannya, suara demi suara seperti berhamburan.
Berserakan entah ke mana. Ada yang tetap bertahan dengan wakilnya, ada yang bingung harus ke mana. Ada yang bertahan dengan keyakinan hatinya, ada juga yang berpikir, ini peluang baru bagi karier selanjutnya. Jangan lupa, bahwa ada di antara mereka yang tak peduli, karena kehidupan tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Semua hal sah-sah saja. Boleh, dan memang harus. Entah itu perceraian pasangan politik ketika mendaftar menjadi bakal calon (balon) pilkada, mencari pasangan lain yang lebih greget, atau bahkan mengusung teman lama, karena rasanya beda.
Sebab, tak elok rasanya membiarkan kursi Banjarbaru 1 berlarut-larut. Netizen budiman pun sudah banyak sekali menyampaikan pendapat demi pendapat di beranda-beranda. Terkesan lucu, menghibur, seperti tergesa-gesa, dan ramai diperbincangkan.
Kadang uji publik memang perlu dilakukan. Tim, tak perlu ambil kesimpulan di awal, lemparkan saja dulu batu ke permukaan air, dari situ biasanya ketahuan, di mana titik yang dalam, oh ternyata bagian tertentu adalah wilayah yang dangkal.
Kita semestinya juga patut mengapresiasi pasangan bakal calon-calon kepala daerah yang sudah tetap memilih pasangan, menyatakan keseriusan, dan niat baik agar tidak berdiam diri, biar kata banyak yang tidak suka, asalkan partai pengusung kencang, semua tidak ingin Banjarbaru tak lebih baik dari sebelumnya.
Hal demikian tampaknya juga senada dengan tekanan waktu yang diberikan oleh KPU. Secara, waktu memang tidak banyak lagi. Kesempatan untuk memperoleh dukungan masyarakat sebelum Desember mendatang adalah kadar waktu yang tergolong singkat dalam sebuah per’kampanye’an.
Sejauh ini jika anda pandai menilik peta yang bukan kepunyaan Dora, ada 3 pasang bakal calon Walikota dan Wakil yang menyatakan siap. Sebagaimana ramai media daring yang membagi link, tertulislah di sana Martinus-Jaya, Ovie-Syahriani, dan terakhir yang seolah reuni dengan sobat lama, Gusti Iskandar-Iwansyah.
Mari tilik lagi histori kimia mereka di masa sebelumnya. Ketiga pasangan, seolah pernah saling silang kamar. Aditya (Ovie) yang sebelumnya berpasangan dengan AR Iwansyah, berpisah.
Pasca memberikan pernyataan mundur dari pencalonan, Ovie pulkam menggandeng Syahriani Syahran, eks Sekda Banjarbaru yang kini memegang keputusan di DPD Gerindra Banjarbaru, suara terbanyak di dewan, nih.
Martinus dulunya menyerahkan ‘Banjarbaru’ kepada Nadjmi pasca terpilih menjadi Walikota. Kini pasca Nadjmi wafat, Martinus seolah menerima pengembalian paksa, dan harus diterima. Secara, basic pendidikan pemerintahan mereka juga sesuai dengan yang digeluti.
Mungkin alasan itu juga yang membuat Jaya tetap bertahan di posisinya, wakil Walikota. Jaya seperti belum memantaskan diri menjadi nomor 1 di Banjarbaru yang padahal, punya kans yang cukup banyak dan lebar selama ia berdampingan dengan Nadjmi.
Mari kita sapa Iwansyah pasca pisah, ia melenggang dengan sobat lama di kapal yang sama bersama Gusti Iskandar di posisi satu. Dan rekomendasi ketetapan sudah ditandatangani Ketua Harian DPD Golkar Kalsel Supiah HK.
Jika menilik lagi pada perhitungan kursi dan keberpihakan partai, pasangan Ovie-Syahriani mendapatkan 10 kursi. Dari PPP 4 kursi dan Gerindra 6 kursi. Pasangan Martinus dengan petahana wakil Walikota Banjarbaru Darmawan Jaya Setiawan mengamankan 6 kursi, yakni Nasdem 4 kursi dan PAN 2 kursi.
Sedangkan pasangan Gusti Iskandar dan Iwansyah ada 5 kursi dari Golkar, yang perlu minimal satu kursi lagi untuk memenuhi syarat ambang batas pencalonan.
Politik Banjarbaru yang kian ramai, yang padahal bisa saja muncul lagi pasangan keempat, kelima, bahkan keenam. Tokoh-tokoh dan penjabat di Banjarbaru seperti sudah menunggu waktunya tiba. Kita tinggal memilih, siapa yang paling pas dengan hati nurani kita. Atau bisa jadi, ada kejutan baru yang menanti di hadapan mata. Kita tunggu saja dinamikanya.(why/and)